Lihat ke Halaman Asli

Achmad Room Fitrianto

Seorang ayah, suami, dan pendidik

Menakar Calon Bupati Sidoarjo

Diperbarui: 12 September 2020   08:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosok Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Kabupaten Sidoarjo merupakan daerah pertanian yang subur sebagai lumbung pangan. Dengan jumlah penduduk sekitar 2,2 juta jiwa, karakter masyarakat Sidoarjo yang masuk dalam kawasan Arek dengan ciri khasnya yang lugas, ceplas ceplos, dinamis menjadikan perhatian khusus dalam mengemas konten dan materi kampanye pemilihan bupati. Berikut akan kita beri timbangan terkait para Kandidate pemimpin kota udang ini.

Sejauh ini terdapat tiga pasangan yang siap berkompetisi dalam meraih simpati warga sidoarjo guna menjadi nahkoda kabupaten yang dikenal dengan udang dan bandengnya ini. Mereka adalah pasangan Bambang Haryo Soekartono--M. Taufiqulbar yang diusung oleh Partai Garindra (7 kursi), Golkar (4 kursi), PKS (4 kursi) Demokrat (2 kursi) dan PPP (1 kursi). Kemudian pasangan kedua Kelana Aprilianto--Dwi Astutik, diusung PDIP (9 kursi) dan PAN (5 kursi). Dan pasangan terakhir Achmad Muhdlor Ali--Subandi, diusung PKB (16 kursi) sedang Partai Nasdem (2 kursi) sebagai pendukung.
Dari tiga pasangan calon bupati dan wakil bupati ini siapa yang diunggulkan dalam pemilukada Desember besok?

Menurut Edward Aspinall strategi pemenangan kontestasi di Indonesia tidak terlepas dari  patronase. Dimana patronase ini pemilih disajikan beberapa Kandidate yang mungkin secara idelogi identic dan tawaran program yang ditawarkan memiliki banyak kemiripan, maka sentuhan langsung oleh Kandidate atau timses nya baik berupa sentuhan emosional maupun sentuhan materi, uang, dan beragam souvernir sangat mempengaruhi hari pencoblosan.

Dari sisi patronase sangat terlihat Kharisma keluarga menjadi bekal yang kuat dalam running di Pilkada. Gus Mundhor sangat diuntungkan dengan nama besar Kyai Haji Ali Mashuri atau dikenal dengan Gus Ali, Pengasuh Pesantren Bumi Sholawat. Sedangkan Kandidate lainnya seperti Cawabug Taufiqulbar adalah cucu dari dua tokoh Jawa Timur  dr Roeslan Abdul Ghani dan KH Husein Ilyas (Mbah Yai Khusen Ilyas), kiai sepuh NU, pengasuh Ponpes Salafiyyah Al-Misbar Karangnongko, Mojokerto. Lebih lanjut Cawagub Dwi Astutik juga memiliki keuntungan patronase. Selain dikenal sebagai tokoh pergerakan PMII dan juga pengurus Muslimat Jawa Timur memberikan ruang gerak yang cukup besar memanfaatkan patronase keorganisasian Nahdlatul Ulama.

Selain patronase, kekuatan logistik juga mempengaruhi coblosan. Menurut Burhanudin Muhtadi, Indonesia menempati peringkat 3 (tiga) di dunia dalam praktek penggunaan uang dalam pemilu.  Artinya masyarakat kita memiliki paham " tak ada uang tak ada coblosan" sering juga terdengar istilah NPWP (nomer piro wani piro --pilih nomor berapa berani bayar berapa). Namun demikian banyak factor yang mempengaruhi kenapa kuasa uang terlihat dominan, lebih lanjut Burhanudin Muhtadi juga menyebutkan salah satunya sistem pemilu yang saat ini dianut, yang memberikan ruang untuk terjadinya praktik tersebut. Bila perilaku pemilih masih didominasi oleh kuasa uang, maka keefektifitasan penggalangan suara akan sangat tergantung kepada stok "logistik" yang dimiliki dan distribusi "logistik" yang disediakan oleh calon dan timses nya.

Pertanyaan mungkin muncul sejauh mana patronase dan kuasa uang dalam mempengaruhi suara pemilih? Apakah tidaj ada factor lain yang mempengaruhi? Dalam struktur masyarakat yang tradisional dan primodial, patronase akan menjadi modal kuat, sedangkan di struktur ekonomi yang labil dan tidak merata, kuasa uang akan menjadi significant.

Bila dilihat dari Indeks Pembangunan Manusia (2018) Kabupaten Sidoarjo memiliki Angka Harapan Hidup mencapai 73,63, Harapan lama Sekolah mencapai 13,89, Rata-rata Lama Sekolah mencapai 10,12, Pengeluaran Perkapita sebesar Rp 12.879.000 per tahun atau setara Rp 1.073.250 jauh di bawah UMR regional dan tingkat kemiskinan 5,63 % atau  123.860 penduduk berada dalam garis kemiskinan .  Dengan indek Pembangunan Manusia yang tercantum diatas dengan pendapatan perkapita yang dikonversi pendapatan bulanan yang hanya Rp 1.073.250 sangat mungkin dimainkan untuk meraih dukungan.  Bisa bisa NPWP (Nomor piro Wani Piro) bukan isapan jempol semata.

Kedua, issue di struktur masyarakat tradisional dan primodial, issue putra daerah akan menjadi issue yang menjual. Kandidate asli yang lahir dan berdomisili lokal akan diuntungkan dalam kontestasi lima tahunan ini. Terlebih bila memiliki warisan sosial dari keluarga yang terpandang dan berkharisma, dalam hal ini yang diuntungkan dari tiga kandidate ini adalah pasangan Achmad Mundhor dan Subandi. Namun demikian trah keluarga, logistic tidak lah cukup untuk meyakinkan untuk meraup dukungan suara, track record para kandidate juga bisa menjadi reverensi pemilih. Latar belakang pendidikan, kiprahnya di sosial kemasyarakatan dan tentunya rekam jejak dikepemiluan dan politik selama ini.

Idealnya seorang calon pemimpin kepala daerah itu memiliki latar belakang pendidikan yang mumpuni misalnya dengan background ilmu perencanaan atau tata kota atau ilmu pemerintahan yang di dukung oleh kiprahnya dalam proses pendampingan masyarakat atau merunning perusahaan atau dinas atau lembaga teknik yang bisa diukur kinerjanya sehingga bila terpilih tidak perlu menunggu masa belajar namun bisa langsung genjot melakukan perubahan yang dijanjikan. Namun demikian dari ketika calon yang ada siapa yang paling siap dengan kondisi ideal tersebut?

Mungkin Bambang Haryo dan Kelana memiliki pengalaman lebih dari sisi "mengelola manusia" sebagai pengusaha. Sedangkan Achmad Mundhor yang tercatat sebagai sarjana pendidikan "hanya" sebagai direktur lembaga pendidikan milik orang tuanya, sedikit kurang diuntungkan dari sisi pengalaman.

Lebih lanjut bila kita telisik ke rekam jejak kepemiluan, ketiga calon pemimpin Sidoarjo ini, suka atau tidak suka bisa dikategorikan sebagai calon yang kurang beruntung di pemilu 2019. Pertama kita lihat Bambang Haryo, caleg Partai Gerindra ini gagal melenggang ke Senayan untuk periode keduanya setelah hanya meraih suara 52.451 Suara dan sempat memperkarakan kekalahannya ini di Mahkamah konstitusi, namun tetap tidak bisa mendudukan Bambang ke kursi DPR RI di pemili tahun 2019.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline