Lihat ke Halaman Asli

Achmad Room Fitrianto

Seorang ayah, suami, dan pendidik

Kekhalifahan Vs NKRI

Diperbarui: 9 Mei 2017   04:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ternyata beberapa tahun lalu saya pernah menulis tentang konsep kekhalifahan, dimana disarikan Khulafaur Rasyidin ternyata menerapkan empat sistem pemilihan yang berbeda sebelum akhirnya di kakahin oleh Muawiyah setelah Syayidina Hasan tidak berniat menjadi Khalifah. Andai saja Muawiyah tidak membuat sistem pemerintahannya turun temurun dan dibangun berbasis kepasitas personal serta dukungan komunal (tanpa ancaman senjata), mungkin peradaban Islam akan sedikit berbeda ceritanya.

Banyak yang bercerita inti pemerintahan adalah keadilan sosial? kenapa para pejuang dan pengidam system Kekhalifahan ini sangat getol? karena mereka mengidamkan keadilan sosial. Pertanyaan kemudian muncul " model keadilan sosial macam apa yang diinginkan"? secara konseptual sebetulnya konsep bernegara Indonesia yang dibungkus oleh Pancasila khususnya sila ke empat dan kelima cukup merepresentasi keinginan atas "Keadilan sosial".

Cobalah kita kupas apa sila ke empat dan kelima itu. Pertama, " Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Jelas disini adalah mengutamakan sistem kerakyatan bukan elitis atau golongan atas, borjuis atau elit lainnya, yang didasari oleh hikmat. perkataan hikmat ini menjadi menarik. Kata hikmat ini merupakan asupan kata yang berasal dari bahasa arab yang berasal dari tiga huruf pokok Ha', Kaf dan Mim. Coba buka kamus bahasa arab dan cek makna dasar dari kata "hakam" (Ha', Kaf, Mim), maka kita akan dapati maknanya adalah hukum, perundangan, tatanan kehidupan, kitabun. Sekarang coba kita gali mana coba kitab yang berisi tatan kehidupan, perundangan dan hukum? silahkan anda jawab sendiri.

Lebih lanjut kata hikmat kebijaksanaan, bisa dilihat adalah mereka mereka yang bisa membaca, menafsirkan dan mengamalkan kitab perundagan, tatanan kehidupan dan hukum tadi secara bijaksana, bukan secara serampangan atau semau kebenarannya sendiri atau dianut yang hanya menguntungkan kelompok dan golongannya. Sehingga disini dilanjutkan dengan kata "permusyawaratan/perwakilan" dimana yang mengakomodir segala kepentingan untuk kepengtingan bersama.

Kedua, Sila kelima " Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". Jelas sudah dasar negara ini dibentuk adalah untuk membangun keadilan sosial bukan membangun dinasti atau kelompok tertentu. Tapi mungkin muncul pertanyaan, kenapa kog keadilan sosial belum muncul? Itu bisa kita jawab karena kita sendiri sebagai individu belom melakukan keadilan itu sendiri, lebih sering kita mengabaikan prinsip keadilan apabila menyinggung pribadi atau kelompok. Bila kita sendiri secara individu sudah bisa melakukan tindak tindak keadilan minimal ke lingkungan sekitar kita maka lambat laun itu akan menular sedikit demi sedikit. Contoh: sudah jujurkan kita dalam proses pengeluaran zakat kita? sudah halal kah pendapatan yang kita peroleh sehari hari? apakah ada tetangga kita yang masih kelaparan hari ini?

Dari sini bisa dipahami pembangunan keadilan sosial tidak bisa seperti membalikkan telapak tangan, semua melalui proses yang panjang.

Selain dua sila terakhir diatas, saya juga teringat dalam mukadimah pembukaan UUD 45 disebutkan " Dengan Rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan di dorong oleh keinginan yang luhur......" coba kita balik kebelakang di konsep keagamaan abad 19 atau tepatnya tahun 1945 dimana mukadimah itu disusun? konsepsi keagamaan mana yang menyebutkan "Allah" sebagai konsep ketuhanan selain Islam?

Sebagai penutup tulisan ini, mungkin para pembaca pernah mendengar konsepsi piagam madinah? suatu piagam penyatuan para karbala oleh Muhammad SAW berdasarkan asas kemanusiaan. Coba kita telaah konsep piagam madinah dengan konsep Mukadimah Pembukaan UUD 45, kalau saya pribadi melihat itu adalah setali tiga uang atau dengan kata lain, nilai nilai Mukadimah Pembukaan UUD 45 adalah pemparaphrasehan dari piagam Madinah. Lha terus kalau sudah banyak menemukan keselarasan system berbangsa dan bernegara kita dengan model Rosulullah dan Khullafaur Rasyidun meskipun bukan bernama Khalifah, kenapa kita harus merubahnya? Kita tinggal mengawal dan merawatnya lho

Pengen tahun tulisan saya beberapa tahun lalu itu? "LEMBAGA KEKHALIFAHAN SEBAGAI SATU INSTITUSI POLITIK" di publikasi oleh Journal

el-Harakah, Vol. 12, No.2, Tahun 2010, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

silahkan simak pada link berikut ini ya

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline