Basic Instinct dan Rumitnya Sensor Konten OTT di Era Digital
JAKARTA, -Film "Basic instinct" (1992) yang diperani artis panas Sharon Stone itu harus melewati proses sensor rumit sedikitnya tiga hari, sebelum akhirnya tayang di SCTV sekitar tahun 1995. Kebetulan tukang sensor atas film kategori HOT itu adalah saya sendiri, nun di waktu itu. Ini beneran? Iya beneran. Bukan hoak? Bukan. Bijimana ceritanya kok film yang mestinya rejected itu, akhirnya bisa 'layak tayang'?
Saya masuk jadi tukang sensor film, bergabung di bagian Quality Control (QC) pada divisi Programming SCTV yang berkantor pusat di jl Darmo Permai, Surabaya, tahun 1994-1996. Pekerjaan utama saya dan beberapa kawan QC adalah melakukan proses Quality Control (internal censorship), yaitu: menonton, mencatat, membongkar, menyensor, membuang, mengedit, merapikan lagi, melabeli 'Passed' atau 'Rejected', terus mencatat lagi dalam suatu Cue Sheet Report atau lembar time line konten.
Proses itu kami lakukan untuk semua jenis program siaran sebelum ditayangkan di SCTV, antara lain: program lokal seperti sinetron dan film nasional, dan semua program hiburan import, termasuk jenis film asing, contohnya ya film Basic Instinct ini.
Secara bercanda kami menyebut pekerjaan kami itu adalah "sebagai tukang jagal film", dengan predikat istilah kerennya profesi saya adalah "Penyunting Program". Mantabb pakde! Hihihi.
Rumitnya, semua proses censorship ini kami lakukan di ruang tertutup semacam bunker "Restricted Area", benteng berdinding tebal, bersuhu rendah, dengan peralatan sensor paling canggih kala itu. Antara lain: beberapa set mesin editing khusus pita kaset Betacam SP, layar monitor, vector scope -- alat canggih pendeteksi kualitas audio video.
Nah, untuk menjalankan tugas khusus bidang sensor film ini saya harus memakai kostum jaket tebal setiap hari, untuk melawan hawa dingin ruangan QC.
Rumitnya lagi, selain harus terampil menjalankan mesin sensor yang canggih itu, sebagai petugas partai eh maaf salah ketik, maksudnya, sebagai petugas sensor, tim QC harus mampu memilih, memilah, dan mengeksekusi setiap program televisi, berbasis sesuai panduan aturan sensor dari BSF (badan sensor film) dan LSF (Lembaga sensor film), kala itu.
Aturan itu cukup mendetail dan rumit, terutama panduan adegan apa saja yang tidak boleh ditayangkan ke publik. Seperti: soal kekerasan, pornografi, ucapan ujaran kebencian, dan sebagainya.
Khusus Film Basic Instinct, adalah contoh rumitnya proses sensorship itu. Sebagai petugas sensor atas film itu, saya mengalami dilema. Satu sisi bahwa "ada arahan dari pusat" bahwa pokoknya film harus layak tayang, sebab hak tayangnya mahal, tetapi iklan sudah mengantre, laris.
Di sisi lain "bagaimana meloloskan konten film Basic Instinct, yang di sana sini dipenuhi adegan hot ini". Menanggung misi dua hal yang kontradiktif ini, saya mumet, nun di kala itu.