"Aku Ingin Jadi Presiden, Mbah"
Hari itu, di sebuah kota kecil di lereng Merapi sebelah Barat Daya yang damai, tinggal seorang remaja bernama Wiropati. Sejak kecil, Wiropati bercita-cita untuk menjadi seorang presiden. Tentu saja banyak kawan di sekolahnya yang mencemooh, dan menertawainya.
"Anak orang miskin, kok cita-cita kaya gitu. Hambok ngilo, bercermin diri", ujar tetangga dan orang orang di kota kecilnya.
"Wong bocah edan, ngimpinya terlalu tinggi. Kejlungup baru tau rasa dia", kata beberapa guru di sekolahnya bisik-bisik.
Tetapi Wiropati bersikukuh, bahwa dia bercita-cita ingin jadi Presiden. Baginya cita cita itu mulia, sama mulianya seperti cita-cita lainnya, seperti: jadi tukang ojol, dokter, guru, tukang parkir, wartawan, tukang copet, pengusaha, dan sebagainya.
Dia selalu terinspirasi oleh pemimpin-pemimpin hebat dunia yang berusaha mewujudkan perubahan positif bagi masyarakat.
Orang seperti Nelson Mandela yang puluhan kali keluar masuk penjara, dia adalah Presiden Hebat. Bung Karno, juga Presiden Hebat. Dan masih banyak lagi literasi tokoh-tokoh yang dia gali sendiri dari banyak buku perpustakaan di kotanya.
Tapi sebagai seorang remaja biasa, jalan menuju Gedung Merah Putih RI-1, terasa begitu jauh dan sulit untuk dijangkau. Koneksi, Relasi, Pendana, dia tidak punya. Wiropati lalu menemui seorang aktivis partai politik di sekitar rumahnya.
"Kamu masih bocah ingusan. Sana dilap dulu ingusmu itu, ndlewer ndlewer gitu kok punya cita cita jadi Presiden", ujar seorang aktivis cabang rantingnya ranting sebuah partai politik terkenal di negeri ini. Wiropati diam saja lalu pergi.
Suatu hari, saat sedang duduk di bawah pohon Trembesi tua di taman kota, Wiropati bertemu dengan seorang mbah bijak yang dikenal sebagai Mbah Sam. Mbah Sam adalah seorang pensiunan politisi yang memiliki banyak pengalaman di dunia politik.
"Dengar, Nak," ucap Mbah Sam dengan senyuman. "Saya tahu tentang impianmu. Jadi, apa rencanamu untuk mewujudkannya?"