Lelaki Pertapa di Mulut Gua (#8)
Lereng Merapi Sebelah Barat Daya
Kabut tipis merambat di lereng gunung itu. Sebagian berhenti dan menebal di pepohonan pinus yang menggerumbul. Angin gunung berhembus perlahan, mengerisik bunyinya di sela-sela dedaun pohon cemara yang sesekali saling bergesekan. Bunyi itu dari kejauhan seperti suara ombak lautan yang menderu deru. Sinar matahari tak bisa menembus tempat itu, sebab segerumbul awan tebal dan kelabu telah menahan sinar itu di angkasa.
Langit menyebarkan sinar matahari membentuk warna putih kelabu. Siang tampak benderang, sementara senja masih jauh dari jangkauan. Bunyi Tongeret dan burung-burung liar terdengar seperti nyanyian alam merdu suaranya dari kejauhan.
Baruklinting akhirnya tiba mendarat di tempat itu. Sebuah tempat lapang, di depan sebuah mulut gua batu besar di pereng Merapi sebelah Barat Daya. Bunyi berdebum keras ketika blarak pelepah pohon kelapa yang dikendarainya menyentuh permukaan tanah tempat itu. Angin berhembus kencang sebentar, mengangkat debu-debu tanah terbang ke angkasa. Tetapi sesaat kemudian tempat itu sunyi.
Baruklinting melangkah mendekati pintu gua itu. Dari tempatnya berdiri, Baruklinting melihat siluet sesosok orang dalam bayangan gelap tengah bersila di sebuah batu besar didalam gua itu. Dia menarik napas dalam dalam. Apakah dia ini, bapaku? Tanya Baruklinting dalam hati. Dadanya mendadak berdegup kencang.
"Wahai panjenengan sang pertapa. Berhentilah bertapa brata barang sebentar. Saya ingin menemuimu, Bapa", kata Baruklinting kepada sosok bayangan yang ada di dalam gua itu. "Panjenengan Ki Ageng Wanabaya, keluarlah dari tempat semadimu".
Tak lama sesudah itu, sosok itu telah berdiri di depan mulut gua. Dia memakai pakaian seperti seorang petani, dengan suatu kain ikat melingkar di kepalanya.
"Mengapa kau usik tapa brataku anak muda. Kau menyebut namaku, apakah aku pernah mengenalmu? Siapa kamu sesungguhnya?", tanya lelaki itu dalam nada suara datar dan dalam. Suara itu begitu berwibawa bagi siapa saja yang mendengarnya.
"Sembah bekti saya kagem panjenengan. Maafkan saya mengusik ritual panjenengan, Bapa. Namaku Baruklinting, putra Dewi Ariwulan di Jalegong istri panjenengan. Aku adalah putra panjenengan bapaku Ki Ageng Wanabaya", ujar Baruklinting sambil kemudian dia duduk bersila beberapa depa jaraknya di depan lelaki yang berdiri di mulut gua itu.
Lelaki pertapa itu terkesiap mendengar ucapan anak muda itu. Dadanya berdegup kencang. Benarkah apa yang telah didengarnya itu? Anak muda itu menyebut namanya dan sebuah nama yang begitu lekat di hatinya, yaitu Dewi Ariwulan istrinya yang ditinggalkannya di Jalegong. Apakah anak muda ini putranya yang telah lahir dari rahim istrinya itu? Lelaki pertapa itu bertanya dalam hatinya. Dia menarik napas dalam-dalam.
"Apakah panjenengan bernama Ki Ageng Wanabaya berasal dari suatu perdikan di daerah pesisir Laut Selatan?", tanya Baruklinting lagi.