Delapan tahun telah berlalu dan pada tanggal 15 Agustus 2013, tepatnya tahun yang sama, perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Republik Indonesia ditandai dengan ditandatanganinya nota perjanjian damai yang dikenal dengan MoU (Memorandum of Pemahaman) di Vantaa, Helsinki, Finlandia. Sejak saat itu, GAM bersatu dan tanpa perlawanan, menyatakan bergabung kembali dan setia menegakkan kedaulatan bersama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Berbagai Qanun mulai dibuat untuk mengatur Aceh dan dari sekian Qanun tersebut, Qanun No. 13 tahun 2003 yang masih menjadi kontroversi hingga saat ini. pemerintah Indonesia memberikan Otonomi Khusus kepada Provinsi Aceh untuk mengatur wilayahnya sendiri, sesuai dengan syariat Islam yang sebelumnya telah dilaksanakan untuk memaksimalkan Aceh sehingga tak hanya disebut Serambi Mekkah, juga sebagai implementasi MoU Helsinki. Jelas tidak disetujui karena bendera tersebut mengingatkan kita pada konflik antara pemerintah RI dan GAM, seperti yang dikatakan pemerintah, boleh saja menggunakan bendera tersebut, namun diubah desainnya.
Keinginan pemerintah Aceh sebelumnya untuk mengibarkan bendera pada perayaan delapan tahun MoU Helsinki pada 15 Agustus 2013, tentu saja ditentang oleh Republik Indonesia. Lebih lanjut ia juga mengatakan, 'Pemerintah Provinsi, DPR Aceh, para elite dan tokoh di sana hendaknya mengajak masyarakat Aceh untuk mendambakan kesejahteraan bersama.' Apalagi tanggal tersebut berdekatan dengan perayaan HUT ke-68 Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 2013 kemarin.
Dua hari penting ini dirayakan dengan khidmat oleh seluruh masyarakat di berbagai daerah di Aceh. Untuk wilayah Banda Aceh sendiri, upacara peringatan Hari Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 2013 dipusatkan di Lapangan Blang Padang dengan didampingi Doto Zaini (sapaan masyarakat Aceh untuk Gubernur Zaini Abdullah) yang menjadi Inspektur Upacara.
Ketimbang Bendera, Utamakan Kesejahteraan Rakyat Aceh Terlebih Dahulu Oleh karena belum didapati kesepakatan tentang Bendera ini dan demi untuk menghormati rakyat Aceh, keputusan ini tidak bisa diambil sendiri oleh Pemerintah pusat, namun lebih mengutamakan mufakat dengan Pemerintah Aceh. Pembahasan lanjutan tentang Bendera ini akan dilaksanakan selama 2 bulan kedepan, terhitung dari tanggal 15 Agustus-15 Oktober 2013.
Tentunya ini mengulur-ulur waktu. Coba bayangkan dan pahami secara pelan dan bijak. Untuk pembahasan ini saja:
1. Berapa banyak dana yang dikeluarkan Pemerintah Aceh maupun Pemerintah Pusat?
2. Mengapa dana ini tak dipakai untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat saja?
Dana ini lebih bermanfaat bila digunakan untuk membangun/mensejahterakan Aceh dan rakyatnya. Belum lagi Korupsi di sana yang terus merajalela. Tentunya ini menambah penderitaan rakyat Aceh sendiri.
Terkait kesejahteraan rakyat Aceh sendiri, Pengamat politik dari Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh, M Jafar SH M. Hum berharap persoalan Qanun Nomor 3 Tahun 2013 tentang Lambang dan Bendera Aceh agar segera diputuskan sehingga Pemerintah Aceh bisa melaksanakan agenda lainnya yang lebih mengutamakan kesejahteraan rakyat.
Pembaca telah melihat beberapa tulisan saya sebelumnya, di mana saya tetap menyinggung tentang 21 Janji kampanye Gubernur dan Wakilnya agar memperhatikan kesejahteraan rakyat, bukan? Sesungguhnya ini murni bentuk keprihatinan saya terhadap banyaknya masyarakat di sana, terlebih yang berdomisli di pedesaan yang belum sejahtera secara finansial.
Masih segar dalam ingatan saya bagaimana pertama kali melihat senapan laras panjang melintas di hadapan saya yang dibawa oleh GAM ketika kami di-sweepingdalam perjalanan kembali ke Banda Aceh dan terpaksa bermalam di mesjid daerah Bagok, Aceh Timur. Selanjutnya, saya masih ingat bagaimana bunyi rentetan peluru atau pun bom yang meledak. Pernah juga di tempat tinggal saya sebelumnya yang kebetulan Asrama TNI, ingin diledakkan oleh GAM (kepala Asrama mengumumkan hal itu di tengah malam). Jelas semua masih terekam dalam ingatan saya beberapa hal itu, sebelum Tsunami. Konflik di daerah Aceh pada masa itu cukup banyak juga memprihatikan. Darah yang mengalir dari GAM, TNI maupun masyarakat sipil terus mengalir.
Menurut catatan Amnesty International yang berpusat di London, korban konflik Aceh yang selama lebih kurang 30 tahun itu (1976-2005) mencapai 30.000 kasus. Yang paling anyar dan masih membekas bagi hampir seluruh rakyat Aceh adalah Tragedi pembantaian di Simpang KKA, Cot Muroeng, Kecamatan Dewantara, Aceh Utara. Pada 15 Agustus kemarin, Suara Aktifis HAM untuk Rakyat Aceh (SAHuR Aceh)menggelar aksi di sana demi menutut kejadian pelanggaran HAM di sana.