Dalam ruang lingkup paling rendah sampai paling tinggi, baik itu dalam ranah mahasiswa di lingkungan kampus maupun pemerintahan daerah dan nasional, kursi kekuasaan selalu membuat siapa saja tergiur untuk mendapatkannya. Setiap orang berlomba mempercantik reputasi diri, memoles citra diri seakan-akan ia merupakan "Saint", bahkan sampai yang paling ekstrem rela melakukan kampanye gelap demi menjatuhkan lawan dan meraih kemenangan.
Setiap lima tahun sekali kita menyaksikan bagaimana para calon dewan dan pemimpin sibuk membuat pamflet, baliho, dan segala instrumen kampanye demi memperkenalkan diri bahwa saya akan maju, saya mencalonkan diri untuk daerah tertentu, dan saya siap menang, tidak pernah tuh saya lihat dijalanan pamflet, baliho dan sebagainya yang menyatakan dirinya siap kalah. Tapi kalau "tulong loen kalinyo" pernah beredar.
Memperkenalkan diri melalui media kampanye tentu tidak cukup, perlu citra lebih yang harus ditonjolkan. Rencana program kerja disampaikan; mendatangi warga dengan senyum ramah dan empati dilakukan; memperindah perwajahan di media sosial wajib hukumnya; sampai lobi-lobi secara gelap di bawah tanah pun mungkin siap ditempuh.
Lima tahun sekali dalam pentas pemerintahan daerah dan nasional, namun berbeda dalam hal waktu apabila di pemerintahan mahasiswa, yakni hanya satu tahun masa jabatan. Tapi, walau begitu, perbedaan hanya pada masa jabatan. Perihal intrik politik dan segala warnanya kurang lebih sama.
Ketika seorang calon pemimpin ditanya, atau ia sedang berpidato menyampaikan alasannya mengapa maju mencalonkan diri, ia akan dengan lugas berkata: "Saya maju karena panggilan rakyat/mahasiswa. Pemimpin yang baik itu bukan yang mencalonkan diri atas inisiatif sendiri, tapi yang jiwanya terpanggil untuk memenuhi amanah rakyat!," Begitu biasanya mereka berkoar-koar.
Argumentasi yang dibangun pasti begitu. Mau ia calon dewan, calon pemimpin daerah maupun nasional, hingga yang paling remeh calon ketua BEM dan sebagainya di kampus. Dan yang terakhir disebut itulah yang hendak saya ulas secara khusus.
Entah mengapa, saya mulai muak melihat geliat keorganisasian di kampus. Hampir semua orang dalam organisasi pada awalnya membicarakan program kerja yang bagus seperti apa, sistem kaderisasi yang paling pas, dan semua yang hal merupakan "isi" dari organisasi. Tapi, itu hanya awal. Akhirnya menjurus pada: kursi "kepemimpinan" yang hendak ditampuk.
Mungkin ada orang-orang yang benar berniat baik, berhati tulus, berpikiran besar yang ingin memimpin demi sebuah perubahan besar. Ada, mungkin. Tapi kenapa yang muncul ke permukaan seringnya adalah orang-orang yang justru hanya haus dengan jabatan? Tanpa sadar bahwa sebenarnya banyak orang jauh lebih mampu, dirinya dengan rasa penuh percaya diri maju ke gelanggang pemilihan raya.
Orang-orang yang bermodalkan kepercayaan diri itu, salah satu faktor pendorong mengapa mereka mencalonkan diri adalah didorong (mungkin juga didesak) oleh pihak luar untuk melanggengkan dan menyebarkan nilai-nilai, visi, misi, dan tujuan-tujuan tertentu. Omong kosong semua narasi positif seperti: "melanjutkan kebaikan", "dalam rangka menyalurkan kebermanfaatan".
Percuma kalau narasi positif itu tidak dibangun oleh kapasitas dan kapabilitas yang cukup. Kapasitas pemikiran yang besar, yang mampu mengartikulasikan ide-ide besar kemudian mengejawantahkannya dalam bentuk program kerja dan pergerakan. Kapabilitas dalam menjadi seorang memimpin, leader untuk semua kalangan, menjadi wakil bagi seluruh tipe dan karakter mahasiswa. Tidak hanya untuk golongannya saja, ingat, bukan hanya untuk "golongannya" saja.
Saya hanya ingin tertawa terbahak ketika ada orang yang mencalonkan diri mengatasnamakan kebaikan dan kebermanfaatan, katanya, tapi sesungguhnya ia lupa hakikat dirinya siapa dan siapa orang-orang yang hendak ia pimpin. Dari keluputan kesadaran mengenai itu, pada akhirnya, kalaupun benar-benar terpilih, hanya akan menjadi pemimpin "hampa".