Sepasang pengantin baru, sedang melewati malam pertama. Mereka memutuskan bulan madu di rumah saja dari pada di hotel mewah. Meski sama-sama canggung. Keduanya memiliki hasrat yang sama, saling pengertian satu sama lain untuk melaksanakan kewajiban dan menerima hak. Di kamar pengatin yang penuh dengan aroma wangi, terdengar percakapan dua pasang suami istri. Sebelum kejadian intim itu terjadi. Mereka melakukan pemanasan dengan sebuah percakapan.
"Bang!" sang istri memanggil mesra.
"Ya," jawab suami sambil melepas baju dan sabuk, persiapan tempur.
"Adek ingin cepat punya momongan. Gimana menurut abang setuju nggak?"
"Pasti! Abang juga", jawab sang suami senang, tanda mengerti maksud istrinya.
"Abang ingin berapa, satu, dua, tiga atau empat? Jangan banyak-banyak Bang, meski kata orang banyak anak banyak rizqi. Kalau boleh usul satu saja, lebih baik satu terawat daripada banyak, tapi tidak ngatasi."
"Terserah adek saja. Abang sih, setuju-setuju saja. Asalkan adek mampu menjaga dengan baik dan merawat."
"Menurut abang yang satu itu, mau kita jadikan apa? Dokter, insinyur atau polisi,? Kalau dokter biayanya mahal, dan sekarang lagi viral, dokter sering malpraktek, saya tidak ingin anak saya jadi bulan-bulanan orang lain, sedangkan kalau insinyur kerjasa sih, enak, cepat dapet duit, tapi kata orang-orang insinyur sering tidak jujur. Mau saya anak kita jadi polisi, bisa melindungi dan menjaga masyarakat. Meski di telivisi banyak diberitakan pamor polisi buruk, tapi aku ingin anak kita menjadi polisi yang jujur. Karena menurutku, polisi itu cakep dan tegap.
"Tidak, aku ingin anakku menjadi pengusaha, kaya raya dan baru mengabdi kepada masyarakat. Berapa banyak pengabdi negara menilap uang rakyat, karena belum cukup dengan gajinya. Kalau bisa menjauh dari pegawai pemerintah. Mandiri, berdiri di atas kaki sendiri, punya hasrat membantu serta memberikan manfaat kepada masyarakat."
"Lho.. Abang jangan bersikap skeptis dengan pemerintah. Pemerintah ada itu karena kita. Jika warganya baik, pemerintahnya baik. Ingat hukum demokrasi. Dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Jadi adanya pemerintah saat ini adalah refleksi dari warga kita sendiri. Bukankah mereka dipilih dan diangkat dari rakyat seperti kita ini," bantah Sang istri. Ia langsung bangkit duduk, yang semula berbaring di kasur.
"Saya bukannya ragu dan tidak percaya. Hanya saja, saya tidak ingin melibatkan keluarga kita masuk dalam tataran pemerintah. Sebenarnya itu saja, saya ingin tetap menjaga privasi keluarga kita. Karena kalau anak kita sudah masuk menjadi pegawai pemerintah, seakan-akan, segalanya menjadi milik publik, tidak hanya di kantor saat bertugas, bahkan saat di rumah bisa jadi berita. Seluruh anggota keluarga, akan menjadi makanan empuk bagi penggosip kurang berita. Dan aku tak mau, kalau anakku kelak sukses, sebagai ayah juga masuk berita menjadi bahan gosip"