Lihat ke Halaman Asli

Aqil Aziz

Suka makan buah

Mereka Perlu Waktu

Diperbarui: 17 Juni 2015   11:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dia datang dengan sungguh-sungguh. Satu paket buku dibawa dengan tangan kirinya. RPP, Promes, dan Prota, serta LKS, semuanya dibawa. Strategi pembelajaran dan beberapa kuis menarik, sudah ia siapkan di pikirannya, semenjak dari rumah.

Dia berharap nanti suatau saat, muridnya akan sukses, meski sudah tak mengenalnya. Dia berjanji dalam hati, entah janji yang untuk yang ke berapa kalinya, bahwa dia akan menjadi guru yang rajin. Guru yang ta’at, guru teladan dari para guru, serta guru yang dirindukan siswanya. Dia berharap dapat mendidik manusia, secara manusiawi. Istilahnya memanusiakan manusia.

“Ah, pagi ini cukup terik, tak seperti biasanya. Cocok untuk semangat yang sedang menggebu ini.” Gumamnya dalam hati.

Dia langkahkan kakinya dengan penuh yakin, bahwa siswanya nanti akan tertarik dengan apa yang dia sampaikan. Ia berharap, siswanya akan manggut-manggut dan mengakui kepandaiannya. Semua perbekalan sudah dia siapkan. Tinggal menunggu bel masuk.

Tak seperti biasa, ia sekarang menuju ruang guru, duduk, sambil bolak-balik perangkat pembelajaran. Biasanya ia datang telat, serta apa adanya, seingatnya juga. Yang penting bawa jurnal guru dan LKS.

“Teet.. teet..teet.” Bunyi bel masuk.

Ia segera masuk kelas XII A. Ia sampaikan salam, dan mencoba untuk memberikan yel-yel kepada anak. Ia belajar untuk menarik perhatian siswa.

“Ayo… Anak-anak tirukan” teriaknya. “Saya adalah juara.”

Semua siswa bengong. Penasaran. Bercampur aduk pertanyaan? Ada apa gerangan guru satu ini, tidak seperti biasanya. Aneh.

“Ayo.. anak-anak, katakan dengan keras dan berkali-kali. ‘Saya adalah juara’,” guru itu mengulanginya lagi.

Sebenarnya ia terisnpirasi, setelah membaca buku motivasi dari sekolah yang ada di Jepang. Bahwa ketika anak mengucapkan : Saya Juara, berkali-kali, mental anak akan menjadi mental juara. Semangat. Kompetitif dan tidak memble.

Tapi kali ini, tak satu pun siswa yang mengikutinya. Guru itu tersenyum, mencoba tidak marah. Memang mulai pada hari ini, ia berjanji tidak marah-marah. Ia ingin sekali menjadi guru yang dikenal santun, ramah dan professional.

“Ayo anak-anak, ucapkan yang saya katakan tadi. ‘Saya adalah juara’.” Ia mencoba memahami apa yang dipikirkan anak-anak. Ia berusaha mengerti bahwa mereka sebenarnya ta’at, hanya saja perlu waktu saja untuk mengajarinya. Mereka perlu waktu untuk memahami serta melakukan apa yang ia perintahkan.

Guru itu benar-benar tidak marah. Meski sudah kelima kalinya perintah itu di ucapkan. Suasana kelas tambah hening dan sepi. Semua siswa saling beradu pandang dengan teman sebangkunya. Hanya saja tak satupun dari mereka yang mengucapkan, sepatah kata apapun.

“Oke, nilai karakter pelajaran kali ini adalah tentang keta’atan kepada guru. Jika hari ini kalian belum melakukan apa yang saya ucapkan, berarti kali ini saya nyatakan kalian semua belum lulus pada point ini. Saya akhiri saja, assalamua’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh.”

Semua siswa serentak menjawab salam, guru itu pun keluar kelas. Beberapa menit kemudian, setelah dirasa guru itu sudah pergi jauh. Terdengar suara gemuruh di dalam kelas.

“Horee…!”

Guru itu mendengarnya, sebetulnya ia tidak benar-benar meninggalkan kelas, ia hanya berdiri di belakang pintu, ruang kelas sebelah. Ia hanya bergumam : Sakitnya tuh di sini.!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline