Presiden Prabowo Subianto baru saja melantik Saifullah Yusuf sebagai Menteri Sosial untuk mengatasi berbagai tantangan sosial yang belum terselesaikan, termasuk mempercepat pengurangan kemiskinan dan meningkatkan layanan sosial, terutama di wilayah terpencil. Tantangan lain termasuk memastikan kualitas program perlindungan sosial yang inklusif, memperluas jangkauan bantuan sosial bagi kelompok rentan, dan mengoptimalkan penggunaan sumber daya agar selaras dengan visi "Indonesia Emas 2045" yang menargetkan kesejahteraan dan keadilan sosial berkelanjutan. Visi ini bertujuan untuk membawa Indonesia menjadi negara maju yang berdaya saing global, tidak hanya unggul secara ekonomi tetapi juga adil dan sejahtera, dengan kualitas hidup yang lebih baik bagi seluruh rakyatnya. Indonesia diharapkan dapat menjadi salah satu dari lima kekuatan ekonomi terbesar di dunia, dengan fokus pada peningkatan kualitas sumber daya manusia dan pemerataan pembangunan (Kementerian PPN, 2023).
Sejak merdeka, Indonesia telah mengalami berbagai tantangan, mulai dari ketidakstabilan politik hingga krisis ekonomi yang menghambat upaya pembangunan menuju kesejahteraan. Meskipun Indonesia memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah dan kekayaan budaya yang beragam, pemanfaatannya belum optimal sehingga rentan mempengaruhi ketahanan ekologi dan sosial budaya. Salah satu tantangan utama yang dihadapi Indonesia dalam pengembangan sumber daya manusia adalah kurangnya pemerataan akses dan kualitas pada sektor kesehatan, pendidikan, dan perlindungan sosial. Ketimpangan ini menjadi penghalang bagi tercapainya tujuan pembangunan inklusif dan merata di masa mendatang.
Data menunjukkan bahwa pada Maret 2024, tingkat kemiskinan nasional tercatat sebesar 9,03%, dengan 25,22 juta penduduk hidup di bawah garis kemiskinan absolut (BPS, 2024). Kondisi ini diperparah dengan ketimpangan akses layanan pendidikan, dimana 88,8% sekolah di Indonesia belum memenuhi standar mutu pelayanan minimal (Rajagukguk et al., 2023). Ketimpangan juga terlihat pada pelayanan kesehatan, dengan belum optimalnya pemerataan fasilitas kesehatan di berbagai lapisan masyarakat. Ketiga elemen ini saling terkait dalam mengukur kualitas hidup masyarakat dan kesejahteraan suatu negara, yang tercermin dalam perhitungan Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), IPM Indonesia pada tahun 2023 berada di angka 74,39, dengan rata-rata peningkatan sebesar 0,72 persen per tahun sejak 2020 hingga 2023 (BPS, 2023). Meskipun terdapat kemajuan di semua dimensi---umur panjang dan hidup sehat, pengetahuan, dan standar hidup layak---angka ini masih berada di bawah rata-rata negara ASEAN lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa upaya peningkatan kualitas hidup dan pembangunan manusia di Indonesia perlu ditingkatkan, terutama melalui perbaikan pelayanan sosial.
Menyikapi kondisi ini, transformasi sosial menjadi krusial sebagaimana tertuang dalam delapan agenda pembangunan yang dicanangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 (Kementerian PPN, 2023). Salah satu instrumen penting dalam transformasi sosial adalah pelayanan sosial, yang mencakup serangkaian program dan kebijakan untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat dalam aspek pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi, dan perlindungan sosial, serta meningkatkan kesejahteraan individu dan kelompok (Fahrudin, 2014). Pekerja sosial, sebagai penyedia pelayanan sosial, berada di garis depan dalam memastikan bahwa layanan ini dapat diakses oleh seluruh masyarakat, termasuk kelompok rentan dan daerah terpencil. Pekerja sosial yang memiliki keterampilan, nilai-nilai, serta metode dan pendekatan khusus dapat meningkatkan fungsi sosial individu, keluarga, dan masyarakat, yang pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan sosial secara nasional. Hal ini sejalan dengan cita-cita Indonesia Emas 2045 untuk menurunkan angka kemiskinan menjadi 0% dan mengurangi ketimpangan pendapatan antar wilayah.
Di indonesia, jumlah pekerja sosial masih relatif rendah dibandingkan dengan kebutuhan pelayanan sosial yang semakin kompleks. Dengan sekitar 68.745 pekerja sosial yang terdaftar, Indonesia memiliki rasio sekitar 80 pekerja sosial per 100.000 anak, yang dianggap belum memadai untuk menangani berbagai isu sosial, seperti kemiskinan, kekerasan dalam rumah tangga, masalah kesehatan mental, dan pemberdayaan komunitas (UNICEF, 2020). Rendahnya jumlah pekerja sosial ini berdampak pada terbatasnya akses masyarakat terhadap layanan sosial yang berkualitas, terutama di daerah terpencil dan wilayah dengan infrastruktur yang kurang memadai.
Malaysia sebagai negara tetangga juga menghadapi tantangan serupa, tetapi dukungan dari pemerintah dan lembaga swasta untuk mengembangkan profesi pekerja sosial di Malaysia lebih besar dibandingkan Indonesia. Malaysia berupaya meningkatkan jumlah pekerja sosial melalui perluasan program pendidikan dan pelatihan di universitas serta memberikan dukungan finansial bagi mereka yang ingin terjun ke profesi ini (Rahma et al., 2014).
Berbeda dengan Indonesia dan Malaysia, Amerika Serikat memiliki rasio pekerja sosial yang lebih tinggi, dengan lebih dari 700.000 pekerja sosial yang bekerja di berbagai bidang, termasuk kesehatan, pendidikan, dan layanan perlindungan anak (Bureau of Labor Statistics, 2021). Jumlah pekerja sosial yang tinggi ini berkontribusi pada sistem pelayanan sosial yang lebih menyeluruh dan terstruktur, yang mampu menjangkau berbagai lapisan masyarakat, termasuk kelompok rentan. Pekerja sosial di Amerika Serikat juga terlibat dalam penelitian dan pengembangan kebijakan sosial, serta memiliki akses ke berbagai sumber daya dan dukungan untuk meningkatkan efektivitas intervensi mereka. Kualitas pendidikan dan pelatihan yang tinggi, serta pengakuan terhadap profesi ini, memungkinkan pekerja sosial di AS untuk memberikan layanan yang lebih berkualitas dan berorientasi pada hasil (Rahma et al., 2014).
Perbedaan dalam metode kerja pekerja sosial di ketiga negara ini berdampak langsung pada kesejahteraan sosial masyarakat. Di Indonesia, meskipun ada upaya yang signifikan untuk memberdayakan masyarakat, keterbatasan dalam jumlah dan kualitas pekerja sosial dapat menghambat efektivitas program. Negara-negara dengan sistem pendidikan dan dukungan yang lebih baik untuk pekerja sosial cenderung memiliki hasil yang lebih positif dalam hal kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, investasi dalam pendidikan dan pelatihan pekerja sosial, serta pengakuan terhadap profesi ini, sangat penting untuk mencapai tujuan pembangunan sosial yang berkelanjutan.
Langkah-langkah Strategis dalam Meningkatkan Pelayanan Sosial