Lihat ke Halaman Asli

Menafsirkan Netizen Melalui Pendekatan Semio-Hipersemiotika

Diperbarui: 23 Maret 2019   14:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri

Tiang-tiang listrik yang buruk rupa bertemu dengan jalanan yang penuh kobangan air. Kobangan air dilindas motor murahan milik perokok yang tidak tahu diri. Perokok yang lewat memakirkan motor mahalannya di pemukiman kumuh.

Di pemukiman kumuh, ada yang peduli pada prinsip, ada yang tidak. Khusus yang 'tidak' ini boleh kita nilai merupakan wujud nyata dari agen-agen anti-kemelaratan. Agen-kemelaratan kian hari terpaksa adu bentrok dengan agen anti-kemapanan. Kedua ordo ini saling bertukar cacian, hingga makian. Cacian dan makian saya pikir merupakan wujud nyata dari kesamaan, namun kesamaan ini adalah ilham perbedaan.

Kata Kyai sepuh, perbedaan itu keniscayaan. Tetapi perbedaan yang sesungguhnya difaktori gizi baru tentang 4 sehat dan 1 sempurna. Menurut hemat saya, ada sehat akal, sehat akhlak, sehat moral, sehat prinsip, kemudian diakhiri dengan sempurna pengamalan. Pertama, sehat akal. Pada aspek ini sangat sulit untuk mencurahkan pemikiran para filsuf Yunani ke dalam sebuah artikel.

Mengingat kadar kesubstansifan artikel ini jauh dari penilian editor Kompas, hingga bapak Tirto.id yang intelek itu. Cukup mengerikan juga apabila, kadar akal sehat berlarut-larut ditulis, karena saya khawatir kejadian Circular of definiento yang pernah diprediksi filsuf yunani menjadi malapetaka di tengah huru-hara perdebatan sengit antar 'ordo' netizen negara berflower. Nampaknya akal sehat adalah proses dialektika yang sampai kapanpun tidak akan mencapai konklusi akhir. Intinya sih sehat itu seperti Atta Halilintar bilang "(A)sehatt~~~"

Kemudian ada sehat akhlak, baiklah disini saya tidak mau disebut kaum sufi dengan mengajukan mosi "nanti butuh" terhadap pelbagai kitab, bahkan "Fihi Ma Fihi" sekalipun.  Sebab, tinimbang mengenal Hakikat jiwa dan Tuhan-Nya, ternyata mengenal calon figur Negara baik dari 01 dan 02 adalah kemutlakan untuk mengenal Tuhan. Bahkan ini amat kentara ketika kita menilik baliho-baliho visual, melalui desaingrafis bertajuk kampanye yang memicu gejala Semiotika tentang tanda dan reaksi yang penuh kedustaan. Netizen seakan terpaksa menerima, mengamini, lalu mengamalkan seruan-seruan optimisme para pasangan calon. Baik itu 01 dan 02, inilah yang tanpa disadari membentuk realitas baru di pikiran netizen tentang nilai-nilai mulia dari moralitas.

Selanjutnya adalah moralitas. Sebetulnya saya sedikit geli, karena disaat bersamaan, terlintas dalam pikiran saya, mengenai kaidah usul yang mampu menjelaskan agama sang pencipta dari yang sehari-hari kita menyembah-Nya. Kita membela-Nya, bahkan sampai menakut-nakuti seperti kata Ustadzah Neno Warisman bila salah satu pasangan calon nomor urut 02 nanti di pasca Pemilu 2019 tidak terpilih, maka tidak ada lagi yang menyembah Tuhan.

Tetapi setidaknya dengan penuh kehati-hatian, moralitas kita telah menyanggupi kebutuhan politik pelbagai pihak yang berseberangan. Moralitas kita secara tersirat dibentuk oleh propaganda politik praktis-mengenai moral baik si pendukung 01 maupun 02 memiliki ciri khasnya masing-masing. Di satu pihak merasa moderat dengan menertawakan kaum fanatik agama. Di pihak lain merasa ajang pemilihan umum adalah arena gladiator antara si taat dan si munafik.

Antara si taat dan si munafik ini sekarang terlihat mereka sedang bertarung memperebutkan takhta eksistensi dengan amunisi optimisme. Kekuatan dari optimisme ini saya pikir terlalu lucu untuk terus dipertahankan, karena dari sehat akhlak, hingga sehat prinsip, kemungkinan besar yang dimaknai adalah ketidaksukaan terhadap pesimisme. Saling acuh, saling merendahkan, begitu terus hingga Greace Natalie yang notabene Ketua Umum PSI, mengatakan dalam setiap iklan-iklannya yang bertebaran, mungkin netizen cukup khatam jika sekedar untuk update perihal iklan partai pengusung anti poligami satu ini.

Natalie bersabda, ciri khas Indonesia adalah makan ketoprak pake nasi. saya pikir ini sudah cukup menggambarkan prinsip yang telah tergerus oleh moralitas aktor politik. Begitu ambisi haus akan kekuasaan telah membabat habis prinsip kekeluargaan kita, kesederhanaan, dan kegotong-royongan.

Maka yang terakhir ialah (menuju) pengamalan, bukan Naar Der Republik seperti kata Tan Malaka, apalagi merdeka 100%. Tetapi paling tidak cukup untuk menuju kemerdekaan pribadi yang 100%. Di samping itu, menyoal tentang akal sehat saya pikir tidak perlu memanggil Rocky Gerung ke rumah sambil ngopi bareng beliau, cukup perbanyak baca, baca buku, baca kondisi, baca hati, agar lebih arif lagi. Begitupun tentang akhlak sehat, walaupun pada dasarnya, ilmu tentang adab tingkatnya paling tinggi daripada orang yang berilmu.

Bahkan pengetahuan dan kebajikan amat sulit beriringan manakala pengetahuan hanya dilihat dari egoisme, maka lihatlah pengetahuan dengan kacamata kehidupan, tentu didasari dengan akal. Moralitas pun  harus meninggalkan watak kebiasaan kita yang berlebih-lebihan memandang moril aktor politik paling mulia sejagat, atau dengan merendahkan kaum-kaum intoleran, hingga fanatik agama kelak menjadikan kita orang yang toleran.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline