Lihat ke Halaman Asli

aqila azzra

mahasiswa

Menentukan Skala Prioritas dalam Mempertahankan Kedaulatan Indonesia dalam Sengketa Laut Cina Selatan

Diperbarui: 1 Juni 2024   00:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Meskipun sengketa teritorial laut cenderung dianggap tidak lebih penting daripada sengketa teritorial darat, kasus sengketa Laut Cina Selatan nampaknya membuktikan sebaliknya. Rangkaian topik perbincangan terkait sengketa Laut Cina Selatan kian memanas dalam beberapa dekade terakhir. Tindakan Tiongkok yang dinilai semakin agresif dalam mengklaim teritorialnya secara sepihak memunculkan kekhawatiran dan respons beragam dari negara-negara yang berbatasan langsung dengan Laut Cina Selatan, yakni Filipina, Vietnam, Brunei, Taiwan, dan Indonesia.

Kasus ini tercatat telah melalui proses yang cukup rumit dan panjang dalam sejarahnya. Baik melalui mediasi antarnegara, maupun dalam pengadilan arbitrase UNCLOS, hasil yang diputuskan tampaknya tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh Tiongkok. Penolakan Tiongkok terhadap hasil sidang yang dimenangkan oleh Filipina membuat perjanjian laut internasional seakan tidak berarti dan berujung menghasilkan ambiguitas dalam batas teritorial laut.

Sikap penolakan Tiongkok kemudian memicu konflik dengan negara-negara yang terlibat. Negara-negara yang berpegang pada keputusan UNCLOS terus berupaya mempertahankan batas teritorial lautnya di tengah tindakan-tindakan agresif Tiongkok.

Indonesia merupakan salah satu dari negara yang berbatasan langsung dengan wilayah teritorial laut Nine-Dash Line yang diklaim sepihak oleh Tiongkok di Laut Natuna. Walaupun tidak tercatat sebagai pengklaim dalam sengketa ini, Indonesia secara langsung merasakan dampak dari konflik ini. Pemberitaan tentang kapal asing Tiongkok yang telah memasuki batas perairan Indonesia di wilayah Laut Natuna merupakan salah satu contoh konflik serius yang berdampak mengancam keamanan negara.

Dalam merespons masalah ini, Presiden Joko Widodo secara tegas menyampaikan bahwa Indonesia tidak mengakui keputusan Tiongkok dan tidak akan bernegosiasi dalam menyangkut isu kedaulatan negara. Maka dari itu, perlu adanya pengambilan sikap dan aksi yang nyata untuk mempertegas posisi kita dalam menjaga kedaulatan negara saat menyikapi konflik ini. Namun, di tengah kepentingan umum sebagai negara, status keanggotaan ASEAN, dan hubungan baik dalam bidang ekonomi dengan Tiongkok, mampukah kita mengambil peran strategis dalam penyelesaian konflik ini?

Seperti yang telah ditetapkan oleh Presiden Jokowi, kedaulatan negara merupakan hal yang tidak bisa diganggu gugat. Namun, kedaulatan itu sendiri memiliki definisi yang luas dan beragam sehingga diperlukan kesepakatan dalam mengartikan maknanya. Keamanan tentu saja merupakan hal pertama yang harus diprioritaskan oleh negara dalam menentukan definisi kedaulatan. Berbagai upaya diplomasi yang telah dilakukan sebaiknya menempatkan keamanan seluruh warga negara sebagai prioritas di kala ketegangan isu ini. Tindakan-tindakan agresif dari Tiongkok yang berpotensi menyebabkan eskalasi konflik harus terus diantisipasi guna mempertahankan keamanan negara dan menjaga kedaulatan. Pertahanan militer harus mampu terus beradaptasi dengan dinamika konflik dan tindakan Tiongkok yang dinamis. Untuk itu, evaluasi strategi dan kebijakan merupakan hal penting dalam menentukan efektivitas dan relevansi dari langkah yang diambil.

Berbeda dengan menentukan keamanan sebagai prioritas kedaulatan yang menjadi kepentingan umum negara, konflik peran mungkin tidak dapat dihindarkan saat membahas posisi di antara keanggotaan ASEAN dan hubungan bilateral dengan Tiongkok. Ideologi bebas aktif yang diadopsi oleh Indonesia pada kasus ini memberikan dampak baik dan buruk. Bagai pisau bermata dua, kita tetap dapat berhubungan dengan kedua pihak. 

Namun, langkah yang kita ambil bisa berpotensi mengubah dinamika hubungan baik dengan negara-negara ASEAN maupun dengan Tiongkok. Maka dari itu, perlu adanya pengkajian lebih lanjut mengenai tujuan jangka panjang dalam sengketa Laut Cina Selatan untuk menentukan posisi yang dinilai paling strategis bagi Indonesia.

Keberhasilan Indonesia dalam mengelola situasi di Laut Cina Selatan akan berdampak pada citra internasionalnya sebagai negara yang mampu menyeimbangkan kepentingan kedaulatan dan hubungan diplomatik. Ini bukan hanya tentang menjaga batas-batas geografis, tetapi juga tentang menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara yang kuat, mandiri, dan mampu melindungi kepentingannya sambil tetap menjunjung tinggi prinsip-prinsip hukum internasional.

Dengan langkah-langkah strategis yang tepat dan koordinasi yang baik antara pemerintah, militer, dan masyarakat, Indonesia dapat memastikan bahwa kedaulatannya tetap terjaga di tengah dinamika sengketa Laut Cina Selatan. Kebijakan yang berfokus pada keamanan, diplomasi, kerja sama regional, dan penguatan ekonomi lokal di Natuna merupakan kunci utama dalam menjaga stabilitas dan kedaulatan Indonesia.

Penempatan prioritas kedaulatan seharusnya mampu menjadi pedoman dalam menavigasi kebijakan-kebijakan yang akan diambil Indonesia ke depannya. Dalam penyelesaiannya, diperlukan kegigihan dalam mempertahankan prinsip yang dinilai paling menguntungkan bagi negara sehingga tidak menimbulkan kerugian di kemudian hari. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline