Peranan wanita Indonesia selalu ditantang oleh perkembangan zamannya. Sebagai contoh, dapat dilihat pada masa mempertahankan kemerdekaan tahun 1945-1949. Wanita Indonesia pada masa itu juga ada yang turut serta dalam mempertahankan kemerdekaan. Tidak terkecuali di Jawa Timur.
Tanpa bermaksud mengesampingkan peranan wanita di wilayah lain semasa perang kemerdekaan, tulisan berikut mengisahkan peranan wanita di wilayah Surabaya dan Malang.
Peranan wanita dalam perang kemerdekaan di Jawa Timur dapat dilihat dalam pertempuran di Surabaya melalui dapur umum. Pertempuran yang terjadi di Kota Surabaya selama bulan-bulan terakhir tahun 1945 merupakan penggambaran kebulatan tekad rakyat Indonesia membela dan mempertahankan kemerdekaan.
Dari Dapur Umum hingga Telik Sandi
Suhario Padmodiwiryo alias Hario Kecik mengenang peranan dapur umum saat Pertempuran Surabaya dalam Buku Memoar Hario Kecik Autobiografi Seorang Mahasiswa Prajurit (1995:233), sebagai berikut:
"Bantuan makanan diperoleh dari dapur-dapur umum yang bekerja di kampung-kampung garis belakang yang relatif aman, tapi yang kadang-kadang masih bisa terancam oleh peluru-peluru meriam dan senapan mesin pesawat. Seiring terjadi di daerah pertempuran di kampung-kampung, pejuang-pejuang kami melihat makanan dan air minum di dalam botol atau kendi, disajikan di depan-depan pintu rumah yang tertutup. Kebanyakan mereka sangat terharu dan merasa wajib menerima tanda solidaritas rakyat itu. Hal-hal seperti inilah yang mendorong semangat mereka membumbung tinggi".
Menurut Intdam Brawidjaja dalam Buku Kenang-kenangan 25 Tahun Intendans Dam VIII/Brawidjaja (1971:13) dapur umum dalam pertempuran Surabaya pertama kali dibuka di Jagalan Gang I/1. Sebagai pemrakarsa dapur umum tersebut adalah Soedarijah yang populer dengan nama panggilan Bu Dar "Mortir", sedangkan alat memasak yang digunakan di dapur umum itu didapat dari sumbangan gotong-royong. Sebelum terselenggaranya dapur-dapur umum kebutuhan makan pasukan yang bertempur diperoleh dari sumbangan sukarela rakyat.
Seiring dengan bertambah panasnya pertempuran di dalam kota, dapur umum di Jagalan itu kemudian dipindahkan ke Gedung Persatuan Wanita di Jalan Ngemplak dengan dikomandoi Bu Dar "Mortir", Moenanggal dan Nyonya Soemantri (Intdam Brawidjaja, 1971:13). Dapur tersebut setiap harinya menyediakan kebutuhan makan untuk sekitar 10 ribu pasukan.
Dapur-dapur umum lainnya kemudian menyusul dibuka di beberapa tempat, antara lain di Rumah dr. Angka Nitisastra, di Jalan Ambengan yang melayani kurang lebih 5 ribu pasukan. Irna H. N. Soewito dalam Buku Rakyat Jawa Timur Mempertahankan Kemerdekaan Jilid I (1994:103) menyebutkan beberapa nama lainnya di antara ratusan pengurus dapur umum, misalnya Bu Sujono, Bu Musaleh, Bu Dirman (Istri dari Residen Sudirman), Bu Legosuhono, Bu Pandan dan Bu Subekti. Betapa rumitnya meladeni pasukan dengan jumlah besar, pada lokasi yang berjauhan pula, tentu memusingkan pengurus dapur umum.
Walaupun sudah ada dapur umum yang menyediakan makanan dengan gratis, bantuan makanan dari rakyat masih mengalir terus. Termasuk kiriman dari luar kota.