Berapa kali kita berpesan, "jangan sedih", "jangan takut", "jangan ngeluh". Berapa kali kita paksakan, untuk tidak mersakan seperti manusia?. _nanti kita cerita tentang hari ini_
==
Allah memberikan kemulian bagi manusia itu dalam sisi yang berbeda, tapi manusia sering membandingkan porsi kemuliaan dirinya dengan porsi manusia lainnya sehingga manusia akan selalu melihat kekurangan dirinya, lupa bersyukur dan akhirnya lupa mencintai diri sendiri. Masyarakat seakan ikut andil dalam menentukan standarisasi sukses tidaknya seseorang, sehingga banyak manusia akan menuju titik yang sama sesuai dengan standar itu hanya agar diakui oleh masyarakat tanpa peduli walupun mereka harus merubah banyak hal dalam dirinya, kehilangan kebahagiannya bahkan kehilangan kendali atas dirinya sendiri.
Dengan standarisasi kesuksesan ala masyarakat, maka muncullah juga standarisasi kegagalan versi masyarakat pula, lumrah kita dengar bahwa tidak lolos ptn negeri adalah "kegagalan", bekerja tidak sesuai dengan jurusan kuliah juga "kegagalan", menikah muda adalah "kegagalan" dan banyak versi kegagalan lainnya yang mengkerdilkan usaha dan proses kita sebagai manusia.
Padahal hakikat kegagalan sesunguhnya adalah, ketika kita tidak mengerjakan sesuatu yang kita mampu di bidang itu. Jadi tidak masalah seseorang jurusan apa, jika ia berhasil mengerjakan apa yang dia mampu maka dia telah berhasil. Jika ia mampu dan siap menikah, maka menikah muda adalah sebuah kesuksesan, sukses itu tidak ada standarisasinya, jika kita sudah nyaman dengan apa yang kita kerjakan maka sesungguhnya kita telah sukses.
Seni mencintai diri sendiri adalah sikap menghargai atas apa yang sudah kita kerjakan, tidak terus-terusan menguras energy untuk berusaha tegar dan kuat. Seringkali karna impian yang sudah kita rencanakan, kita tidak menikmati hari kita sekarang. Kita tidak memanusiakan diri sendiri hanya untuk mengejar pengakuan orang lain. Kita lalai berterima kasih pada diri sendiri karna terus menjadikan orang lain sebagai perbandingan diri.
Kita melarang diri untuk lelah, menangis, mengeluh hanyak untuk menyakinkan diri sendiri kalau kita "lebih" dari orang lain. Padahal sebenarnya kita butuh istirahat, mempunyai "me time" dan mengoreksi semua yang kita lakukan, yang baik harus dipertahankan dan yang jelek maka diperbaiki. Istirahat bukan berarti menyerah, mengalah bukan berarti kalah, kita boleh untuk mundur beberapa langkah, untuk membuat lompatan yang lebih tinggi sehingga mempercepat langkah kita.
Seberapapun tinggi mimpoi kita, ingatlah bahwa kita tetaplah manusia, banyak yang akan berjalan tidak sesuai ekspektasi. Maka hal penting yang harus kita lakukan saat berharap/bermimpi, siapkan satu tempat di hati untuk menampung kecewa atas banyak hal yang tidak kita duga.
Saya pernah dinasehati oleh seorang guru, banyak sukses dan keberhasilan kita selain dari usaha juga ditentukan oleh seberapa lama kita kuat untuk mengangkat tangan saat berdoa, semakain lama kita berdoa, maka kesuksesan juga akan semakin dekat.
Bersukurlah, berterimakasihlah pada diri sendiri, istirahatlah sejenak untuk mengisi ulang energy dan mulai berjuang lagi dan lagi tanpa memperdulikan standarisasi masyarakat karena tolak ukur kesuksesan sejati hanya dirasakan oleh kenyaman diri dan ketentraman hati saat kita menjalaninya. Sekecil apapun pekerjaannya, berterimakasihlah! Karena tidak ada orang yang bisa mencinntai anda begitu besar kecuali diri anda sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H