Lihat ke Halaman Asli

Penerapan Green Public Procurement dalam Upaya Menjaga Kelestarian Ekosistem Laut

Diperbarui: 21 Mei 2018   14:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Latar Belakang
Pada tahun 2015, dunia telah sepakat untuk melaksanakan Sustainable Development Goals (SDG) dengan 17 goal dan 169 target yang harus dicapai dalam 30 tahun. Salah satu indikator yang ada di dalam target SDGs adalah goal 12.7 dengan target “mempromosikan Pengadaan Barang Jasa Pemerintah yang berkelanjutan/Sustainable Public Procurement (SPP), sesuai dengan kebijakan dan prioritas nasional”.  Target lain yang ada di dalam SDG adalah goal 14: Kehidupan Di Bawah Air. Salah satu target pada  goal ini di tahun 2020 adalah pengelolaan dan perlindungan ekosistem laut dan pesisir secara berkelanjutan untuk menghindari dampak negatif yang signifikan, termasuk dengan memperkuat ketahanan mereka, dan mengambil tindakan untuk restorasi mereka untuk mencapai lautan yang sehat dan produktif dan pada tahun 2025 adalah mencegah dan secara signifikan mengurangi pencemaran laut dari semua jenis, khususnya dari kegiatan berbasis lahan, termasuk sampah laut dan polusi nutrisi dan pada tahun. Beberapa proses pengadaan barang./jasa yang bersentuhan dengan ekosistem air khususnya laut adalah pembangunan infrastruktur laut dan jasa catering/tataboga. Paper ini akan membahas bagaimana pengadaan barang/jasa dapat membantu dalam menjaga kelestarian laut.

Pembahasan 


United Nations Environment Programme (UNEP) pada websitenya (UNEP, 2017) menyebutkan Sustainable Public Procurement (SPP) atau Pengadaan Publik/Pemerintah Berkelanjutan (PPB) adalah proses ketika sebuah organisasi pemerintah memenuhi kebutuhan mereka untuk barang, jasa, pekerjaan konstruksi, dan jasa lainnya dengan suatu metode untuk mencapai nilai kemanfaatan uang dalam sebuah siklus hidup yang menyeluruh dalam hal mencari keuntungan yang tidak hanya untuk organisasi tapi juga sosial dan ekonomi tetapi juga mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan secara signifikan. PPB di Indonesia diatur di dalam Peraturan Presiden No. 16 Tahun 2018 (Perpres 16/2018) tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Pasal 68. Pasal 68 Ayat 1 dan 2 menyatakan bahwa Pengadaan Barang/Jasa memperhatikan aspek keberlanjutan yaitu aspek ekonomi, sosial dan lingkungan. Aturan penerapan PPB menggunakan frasa “memperhatikan”, sehingga dapat dikatakan bahwa penerapan PPB di Indonesia masih berada pada level pengenalan, tidak bersifat wajib. Hal ini akan memperbesar kemungkinan penerapan PPB akan masih bersifat insidentil dan belum merupakan suatu gerakan masif yang terstruktur.

Secara umum pengadaan barang/jasa pemerintah (PBJP) merepresentasikan 15%-30% dari Gross Domestic Product (GDP) nasional. Di Uni Eropa, rata-rata belanja pemerintah adalah sebesar 13,7 % dari GDP (Ahsan, 2017). Pada tahun 2014, rencana belanja barang dan jasa pemerintah yang ter- catat pada sistem monitoring dan evaluasi Lembaga Kebijakan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) se- besar 399,414 Triliun rupiah dan meningkat menjadi 586,747 Triliun rupiah pada tahun 2016 (LKPP, 2018). Alasan utama untuk menggunakan GPP sebagai sebuah instrumen kebijakan lingkungan adalah karena besarnya belanja pemerintah di bidang barang/jasa. Pengadaan barang dan jasa yang nilainya besar akan membutuhkan sumber daya alam yang besar pula, yang dapat berpengaruh secara langsung ataupun tidak langsung terhadap kelestarian alam, pencemaran lingkungan, keanekaragaman hayati, dan perubahan iklim. Efek terhadap alam ini tidak hanya dilihat dari penggunaan bahan baku/material dalam jumlah yang signifikan, tetapi juga emisi yang dihasilkan dari proses pengadaan barang/jasa dari proses produksi, pengangkutan, sampai dengan pada tahap penggunaan. Dengan besarnya belanja ini GPP dipertimbangkan sebagai sebuah instrumen yang dapat digunakan dalam mengatasi masalah perubahan iklim, penggunaan sumber daya, produksi dan konsumsi yang berkelanjutan. Diharapkan GPP akan berkontribusi di skala nasional dan internasional dalam membantu mengatasi masalah lingkungan dan menjadi haluan dalam inovasi dan pendorong pertumbuhan ekonomi.

Beberapa fakta-fakta terkait lautan disampaikan oleh Sinaga (2016) sebagai berikut: Lautan meliputi tiga perempat dari permukaan Bumi, mengandung 97 persen air Bumi, dan mewakili 99 persen ruang hidup di planet ini berdasarkan volume. Lebih dari tiga miliar orang bergantung pada keanekaragaman hayati laut dan pesisir untuk mata pencaharian mereka. Secara global, nilai pasar sumber daya dan industri kelautan dan pesisir diperkirakan mencapai $3 triliun per tahun atau sekitar 5 persen dari PDB global. Lautan mengandung hampir 200.000 spesies yang teridentifikasi, tetapi jumlah sebenarnya mungkin berada dalam jutaan. Lautan menyerap sekitar 30 persen karbon dioksida yang dihasilkan manusia, menyangga dampak pemanasan global. Lautan berfungsi sebagai sumber protein terbesar di dunia, dengan lebih dari 3 miliar orang bergantung pada lautan sebagai sumber utama protein mereka. Perikanan laut secara langsung atau tidak langsung mempekerjakan lebih dari 200 juta orang. Subsidi untuk penangkapan ikan berkontribusi pada penurunan cepat banyak spesies ikan dan mencegah upaya untuk menyelamatkan dan memulihkan perikanan global dan pekerjaan terkait, menyebabkan perikanan laut menghasilkan US $50 miliar lebih sedikit per tahun daripada yang mereka bisa. Sebanyak 40 persen lautan di dunia sangat dipengaruhi oleh aktivitas manusia, termasuk polusi, perikanan yang berkurang, dan hilangnya habitat pesisir. Dari fakta-fakta yang disampaikan di atas dapat kita peran lautan dan perlunya upaya untuk menjaga kelestarian lautan.

Małgorzata (2017) menyampaikan bahwa PPB terdiri dari dua jenis yaitu: Green Public Procurement (GPP) dan Socially Responsible Public Procurement (SRPP). GPP adalah sebuah proses yang di dalamnya otoritas publik melakukan pengadaan barang/jasa yang dampaknya lebih kecil kepada lingkungan alam selama keseluruhan siklus hidup jika dibandingkan dengan barang/jasa dengan kemampuan utama yang sama yang dapat diperoleh untuk memenuhi kebutuhan yang sama.

Pemerintah menerapkan GPP dengan mempertimbangkan masalah-masalah lingkungan ketika melakukan kontrak dengan penyedia barang/jasa. Mekanisme pengalokasian kontrak dilakukan dengan kompetisi tender dengan memasukkan syarat berupa kriteria-kriteria terkait lingkungan yang harus dipenuhi oleh penyedia barang/jasa. Kriteria syarat lingkungan dapat diminta dipenuhi pada proses produksi, atau rantai pasok barang/jasa. Dengan demikian, kinerja terkait lingkungan dari penyedia barang/jasa merupakan bagian dari kualitas penawaran. Kriteria terkait lingkungan tersebut dimasukkan ke dalam beberapa tahapan pengadaan seperti pada saat tender desain, tender untuk pelaksanaan konstruksi, dan tender untuk pengoperasian sebuah bangunan (ICLEI, 2007). Di dalam tender kriteria-kriteria tersebut dimasukkan ke dalam beberapa tahapan tender seperti pada kriteria seleksi, spesifikasi teknis, kriteria evaluasi dan juga klausul kinerja kontrak (Testa et.al, 2015).  Testa et.al (2015) dan Lundberg (2017) menyebutkan beberapa kriteria lingkungan yang dijadikan persyaratan proses tender adalah sebagai berikut : Pertama, energi seperti penggunaan energi yang rendah, emisi karbon dari peralatan/kendaraan/alat berat, penggunaan renewable energy, pelatihan efisiensi energy. Kedua, material, seperti  penggunaan produk yang tidak beracun, produk ramah lingkungan (green label), penggunaan kayu yang minim, produk hasil daur ulang. Ketiga, air seperti penggunaan toilet minim air (biodegradable liquid), peralatan hemat air (dual-flush toilet, tap water). Keempat, suara seperti pengontrolan suara akibat pelaksanaan konstruksi atau juga pengoperasian bangunan. Kelima, manajemen limbah, seperti adanya manajemen limbah yang baik. Keenam, daur ulang, berupa penggunaan air limbah untuk di daur ulang, daur ulang sampah.    

Dengan memasukkan kriteria-kriteria lingkungan di dalam GPP, misal dalam pembangunan Green Road, pemerintah berusaha untuk menerapkan low waste economy dengan mengurangi penggunaan energi, pencegahan limbah dan polusi di awal proses pengadaan barang dan jasa dengan persyaratan di awal proses tender berupa penggunaan produk hijau dan perilaku hijau perusahaan yang ikut berkompetisi dalam tender. Kemudian memastikan adanya kontrol terhadap polusi, pelaksanaan daur ulang dan penggunaan produk daur ulang pada saat pelaksanaan pengadaan barang/jasa  (misal proses konstruksi) dan pengoperasian produk hasil pengadaan barang/jasa (misal pengoperasian jalan).

Beberapa proses pengadaan barang./jasa yang bersentuhan dengan ekosistem air khususnya laut adalah pembangunan infrastruktur laut dan jasa catering/tataboga. Paper ini akan membahas bagaimana pengadaan barang/jasa dapat membantu dalam menjaga kelestarian laut khususnya dalam pembangunan jasa konstruksi infrastruktur laut dan jasa catering/tataboga. Dalam melaksanakan infrastruktur di laut pada proses perencanaan sudah merencanakan teknologi hijau, pada proses pemilihan sudah mencantumkan kriteria ramah lingkungan dalam proses evaluasi penawaran sebagai contoh kriteria teknik dan teknologi yang digunakan ramah lingkungan: tidak menghancurkan seluruh terumbu karang, kriteria bahan/material yang digunakan (dalam pembangunan, dalam pemeliharaan) ramah lingkungan : tidak beracun. Kemudian, waktu pembangunan suatu infrastruktur juga diharapkan tidak mengganggu aktifitas reproduksi dari makhluk hidup yang ada pada suatu ekosistem laut (Daffon, 2018). Sedangkan pada pengadaan barang/jasa makanan, ketika membutuhkan barang/jasa mempersyaratkan produk berlabel hijau (Green Label) misalnya ikan bukan dari produk illegal fishing, ukuran ikan yang besar tidak yang kecil.


Studi Kasus Pembangunan Jalan Tol di atas Permukaan Laut (Tol Bali Mandara)

Jalan Tol Bali Mandara adalah jalan sepanjang 12,7 km di atas laut yang menghubungkan antara Benoa, Ngurah Rai Tuban, dan Nusa Dua. Jalan tol ini mulai dikonstruksi sekitar bulan Maret 2012 dan selesai sekitar bulan Mei 2013. Jalan tol ini didesain tahan terhadap gempa 1.000 tahun. Jalan Tol Bali Mandara dibangun di atas Teluk Benoa. Ada tiga jalur utama yaitu Benoa (Denpasar)–Bandara Ngurah Rai (Tuban), Bandara Ngurah Rai–Nusa Dua, dan Benoa–Nusa Dua. Ketiga jalur ini membentang di atas Teluk Benoa sekitar 1.373 hektar (NN 2, 2014).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline