IPS, jurusan yang selalu dianggap jurusan buangan, pilihan kedua, dan jurusan santai-santai. Tetapi, meskipun dipandang rendah, IPS bukanlah rendahan. Menurut saya, jurusan ini mempunyai kuantitas dan kualitas yang luar biasa hebatnya, namun hanya saja terang anak IPS belum terlalu nampak di sekolah. Semisal saja di sekolah saya, SMA Kolese Loyola.
Berangkat dari ketidaksukaan saya pada ilmu alam, kemudian dari kelas X saya “getol” belajar pelajaran sosial, dan pelajaran alam pun terbengkalai. Alhasil, saya naik kelas dijuruskan masuk IPS. Tidak, saya tidak kecewa. Malahan rasanya seperti terbang ke langit ketujuh, bahagianya bukan main. Tetapi, tentu saja kesenangan dan kebanggaan saya terhadap IPS tidak berimbas pada orang lain yang sudah mempunyai mindset atau cara pikir “IPA lebih bagus”. Misalnya saja, waktu itu ada yang bertanya, “Kamu jurusan apa?” dan dengan lantang saya menjawab, “IPS!!” Terlihat raut mukanya yang merendahkan, dan berkata “Opo apike IPS?” (apa bagusnya IPS?). Ya, bagi saya anjing menggonggong khafilah berlalu. Mungkin orang yang berkata demikian adalah orang yang belum pernah melihat jurusan IPS di Loyola. Ada lagu dangdut yang menggambarkannya, “Jangan-jangan samakan IPS Loyola dengan yang lain...” Bukan bermaksud sombong, namun bukannya semua itu telah menjadi konsumsi publik?
IPS, Ikatan Pelajar Santai.
Hehe yap benar, tapi tidak sesantai yang ada di dalam pikiran kalian. Menurut sepengelihatan saya yang sudah hampir 2 tahun menapaki jurusan sosial, pelajaran IPS juga lumayan berat, apalagi pelajaran akuntansi. Meskipun saya juga sedikit membenarkan tentang slogan itu, tapi bisa diralat sedikit, mungkin dianggap santai karena kami tidak ambil pusing dengan pelajaran, maksudnya begini : belajar dengan metode sersan, serius tapi santai. Nah, itulah tanggapan “santai” menurut saya. Jadi santai yang dimaksud di sini bukanlah santai dalam arti sebenarnya, yang tiap hari dolan-dolan kesana kemari. Melalui belajar dengan metode sersan tadi, kami mendapat dampak positifnya, yakni kami dapat memahami pelajaran dengan mudah, berbeda dengan jurusan lain misalnya, mungkin tipe belajarnya adalah : Time is Study. Yaa tipe belajarnya serius, serius, dan serius. Bisa jadi!
IPS. Inilah Pilihan Saya.
Selama hampir 2 tahun berkutat dengan ilmu sosial, saya semakin jatuh cinta dengan jurusan ini. Terutama tatkala pelajaran Bahasa Indonesia. Baru kali ini saya menemui pelajaran yang tidak mempunyai buku, tidak mempunyai materi, dan tiap pertemuannya tidak pernah membahas apapun tentang pelajaran. Alamak jang! Berbeda dengan jurusan IPS di tempat lain tentunya hehe. Pelajaran bahasa Indonesia di Loyola mempunyai ciri khas tersendiri, yakni hanya ada dinamika-dinamika dalam tiap pertemuannya. Siapa sangka, bahwa di dalam dinamika-dinamika yang ada tersebut, guru saya yang mengaku lulusan Amerika itu memberikan pelajaran kepada kami murid-muridnya, ya pelajaran hidup. Dinamika yang kadang kurang masuk di akal tetapi ternyata dapat mengasah kemampuan otak kita. Saya merasa bahagia sekali menjadi komunitas sosial, komunitas yang sebenarnya jumlahnya kecil, tetapi siapa sangka bisa mendominasi di Loyola dengan segala macam keunikan-keunikannya. Tak ragu untuk menjadi frontier post untuk teman-temannya, berani berpendapat, dan selalu menyumbangkan ide-ide berliannya.
Seperti quote di bawah ini “The difference between school and life? In school, you’re taught a lesson and then given a test. But in life, you’re given a test that teaches you lesson.” Menurut sudut pandang saya, kok quote itu sedikit kurang benar ya? Ya, karena saya merasa di Loyola belajar double. Belajar pelajaran dan belajar hidup. Semua saling melengkapi. Terlepas dari embel-embel Kolese, saya mulai mengerti bagaimana contoh konkret competence, compassion, conscience dan hal-hal lain ya saat pelajaran bahasa Indonesia. Mungkin, kalau bisa diibaratkan, pelajaran bahasa Indonesia di Loyola itu seperti sarasehan. Ada dinamika dan ada makna di balik dinamika tersebut. Saya sering menulis di examen saya tentang :
1.Kedekatan dengan teman-teman muncul tatkala pelajaran bahasa Indonesia, misal dalam acara FEFIAS.
Nggak tau kenapa, saya merasa dalam menjalankan FESFIAS, persaudaraan kami lambat laun mulai terbangun dan mulai kuat, ya mau tidak mau kita harus saling bersatu supaya FESFIAS ini dapat berjalan dengan baik dan dapat hasil yang maksimal. Di sini juga saya semakin dapat memahami diri teman-teman semua, dan saya mendapat pengalaman bahwa menyatukan pikiran dari beberapa individu itu tidak mudah. Pokoknya melalui satu kegiatan yang dilangsungkan saja sudah banyak sekali makna yang dipetik, apalagi kalau 2599 kegiatan. Hffft.
2.Dinamika melanjutkan lirik/melanjutkan lagu.
Ya, dinamika ini adalah dinamika yang menurut saya paling oke. Di mana kami para murid disuruh duduk membuat lingkaran. Permainan pun dimulai ketika intruksi keluar dari mulut Pak Why. Misal lagu Indonesia Raya, tiap siswa hanya boleh mengucapkan 1 kata saja, dan kemudian teman-teman yang lain melanjutkan, pun sama hanya mengucapkan 1 kata. Siapa sangka dari dinamika yang sepele ini terkandung pesan yang luar biasa di dalamnya. Apa hayo? Yak, salah satunya adalah fokus, yakni saat teman-teman kita mengucapkan kata, kita harus menyimaknya dengan baik, tidak malah asyik sendiri dengan teman di sebelahnya, dan pesan lainnya adalah menghargai teman. Seperti prinsip : jika kita menghargai, maka kita pula dihargai. Ada teman berbicara, sudah selayaknya untuk kita mendengarkan. Begitupula sebaliknya.
3.Dinamika membuat kepanjangan dari suata kata
Membuat kepanjangan dari suatu kata dan harus nyambung satu dengan yang lainnya. Sulit! Tapi siapa kira dinamika sederhana yang mungkin bisa dijawab asal-asalan itu membuat saya menyadari bahwa sengasal-ngasalnya kita, kita juga harus menggunakan pikiran untuk jawaban ngasal tadi hehe. Jadi intinya kita sebagai anak muda harus kreatif, harus bisa mengembangkan ide dan tentunya tidak mudah menyerah.
4.Dinamika membuat mars FESFIAS
Ada-ada saja. Itulah kata yang terlintas pertama kali dalam benak saya. Ternyata, setelah saya refleksikan lebih dalam, dinamika ini mengandung pesan : kita harus dapat mengembangkan potensi yang tersembunyi dalam diri kita. Selain itu, kita juga dituntut untuk kreatif serta inovatif.
5.Yang kalah membawa makanan
Nah tambah aneh kan? Benar sekali. Setiap dalam dinamika ada orang-orang yang kalah, maka orang-orang itu sudah layak dan sepantasnya untuk mendapat hukuman. Membawa makanan. Tapi, saya sudah bisa menebak hal apa yang terkandung di dalamnya, kita harus belajar untuk sportif. Namanya juga permainan. Dan mungkin juga bisa meningkatkan semangat di dinamika yang akan datang, supaya bisa menang.
6.Farewell party
Pesta pertemuan terakhir, di mana makanan melimpah ruah hasil bawaan dari yang kalah. Menurut saya, itu mengacu ke competence, ya lebih tepatnya persaingan secara sehat. Di mana untuk mendapatkan sebungkus makanan saja susahnya bukan main, dan harus bertanding dahulu. Hmm, berarti orang tua kita juga begitu yaa
Terakhir, yang jelas pelajaran bahasa Indonesia di Loyola memang top! Semacam ada udang di balik batu. Ada makna tersembunyi di balik dinamika yang ada. Mungkin sudah sepatutnya kami mengucapkan terima kasih pada Loyola, karena sudah merekrut seorang guru yang edukatif, kretif, serta inovatif.
Semoga, dengan apa yang ada ini, kami bisa menjadi anak IPS yang patut dibanggakan. Ya, IPS, Ikatan Pelajar Sukses.
-AMDG-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H