Pertanyaan 'sudah kerja?' mulai bermunculan ketika tali toga telah sah di sebelah kanan kepala. Seolah-olah pertanyaan itu wajib dipertanyakan di depan umum. Baiklah, sasaran yang sudah kerja akan menjawab 'iya', dan bagi yang belum mendapatkan pekerjaan, pastinya memberi jawaban sekenanya hingga menimbulkan berbagai pertanyaan dan pernyataan yang bikin greget sendiri, hehe, dan inilah saya.
Lo, kok bisa?
Sejak Taman Kanak-kanak, saya bercita-cita menjadi penegak hukum. Sebab, pemikiran dan perasaan anak kecil seperti saya memandang hukum itu konkret, tidak akan pilih kasih, terutama tak pilih kasta (dilatarbelakangi oleh salah satu keluarga saya bekerja sebagai pegawai di lembaga tersebut). Namun, ketertarikan saya berbagai bacaan dan menulis karangan. Di masa sekolah, nilai yang sangat memuaskan muncul di mata pelajaran bahasa Indonesia. Tak jarang, saya juga pasti menepis pikiran yang bakalan menjadi 'guru', sebab bermain kata hanyalah hobi yang mengasyikkan dan jauh dari keterikatan.
Setelah wisuda, pemikiran saya hanya seputar bagaimana caranya ke ujung Timur Nusantara, mengikuti jalur khatulistiwa, mengabdi dengan bebas, dan bersosialisasi tanpa batas. Namun, hal tersebut hanya euforia, dan faktanyabergelut dengan embel-embel 'perintah orang tua itu wajib, tidak ada kata melanggar'. Nah, di sinilah permulaan perjalanan yang tidak pernah berdiam diri di benak saya, secuil pun tidak, dan tiba-tiba berada di arena yang membutuhkan tarik napas. Ya, menjadi seorang guru.
Mengapa tidak dengan guru?
Tidak semudah kirim lamaran tanpa pikir panjang, hal tersebut dimulai dari bujuk rayu orang tua supaya lebih lama tinggal di kampung. Lowongan kerja yang tersedia di kampung tidak sewarna-warni di perkotaan dengan saingan bejibun. Di sini, hanya ada beberapa pilihan: mengelola kebun atau bertani, mengabdi menjadi bagian tenaga kesehatan, dan terakhir bergelut di dunia pendidikan. Di antara pilihan tersebut, gelar dan prospek kerja yang hampir sesuai hanyalah di dunia pendidikan. DUAARRR! Pusing.
Bagi saya, menjadi guru adalah pilihan yang sulit. Peran guru sangat luar biasa dan saya tidak mampu menyeimbangkan diri di dunia pendidikan. Guru wajib memahami semua siswa di ruangan, menguasai kelas, membuat perangkat ajar yang menyenangkan, mengembangkan minat siswa, pekerjaan yang terikat, monoton, dan lain sebagainya. Nah, sangat bertolak belakang dengan rasa percaya diri saya yang jungkir balik cenderung bebas bersosialisasi di mana dan kapan saja, tidak terikat, bahkan ingin mengabdi pun di tengah masyarakat yang belum pernah saya jumpai sebelumnya. Jauh sekali, bukan? Dan lagi, saya buta dengan perangkat ajar. Saya senang mengapresiasi seseorang, akan tetapi ketika saya menjelaskan tentang sesuatu, tidak sesederhana cara guru memberikan penjelasan materi kepada siswa di depan kelas, sehingga orang yang mendengar kalimat yang saya sampaikan berpikir berulang kali dan menjawab 'tidak paham'. Minder? jelas!
Saya senang bergaul, namun bergaul di ruang lingkup dunia pendidikan mempunyai batasan-batasan tertentu yang sangat jauh dari arena nonkependidikan. Pertanyaan yang bertubi-tubi muncul, BAGAIMANA BISA? MAMPUKAH?
Memacu adrenalin, menerima diri, dan pekerjaan
Inilah saya yang sekarang, berbulan-bulan belajar menerima diri yang hampir ciut nyalinya. Banyak pengalaman yang saya temukan dari berbagai hal yang sebelumnya nol besar di atas kepala, perlahan terungkap dengan manis, walau tak jarang juga menangis -haru. Hehe. Adrenalin? Rasa nyaman? Yuk, cobain. Keluar dari zonamu!
Sekian, celoteh perasaan nondik di kecup kenyataan~