Lihat ke Halaman Asli

Aprima Fitria Candra

Universitas Negeri Jakarta

Dampak Globalisasi: Gaya Hidup Konsumerisme Pada Kelas Menengah

Diperbarui: 12 Desember 2024   07:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Belanja Online (Sumber: pixabay.com)

Terjadinya globalisasi pada era saat ini dibuktikan dengan kemajuan teknologi informasi dan integrasi pasar global yang telah mempermudah pertukaran barang, jasa, dan budaya di seluruh dunia. Berkembangnya teknologi informasi seperti adanya media sosial tentunya memudahkan proses pertukaran informasi dan budaya antarnegara.

Pertukaran informasi di media sosial salah satu contohnya adalah banyaknya promosi dan penawaran dari produk-produk yang terus berganti dalam waktu singkat, sehingga menurut (Cahyarani, 2023) akan membuat individu menjadi mudah terpengaruh untuk membeli barang tersebut walaupun sebenarnya barang tersebut tidak menjadi prioritas kebutuhannya saat itu. Hal ini tentunya dapat mengakibatkan perubahan gaya hidup konsumerisme. 

Konsumerisme ini dilatarbelakangi oleh munculnya masa kapitalisme yang diusung oleh Karl Marx yang kemudian disusul liberalisme, sehingga konsumerisme merupakan jantung atau pokok utama dari kapitalisme, kapitalisme global mulai berkembang pesat, sehingga setelah perang dingin berakhir pada tahun 1980-an hal-hal tersebut pemicu utama berkembangnya kapitalisme global atau globalisasi ekonomi yang diawali dengan pertemuan GATT di Maroko (Cahyarani, 2023).

Pada era globalisasi saat ini, terdapat stigma yang masih melekat pada beberapa masyarakat, bahwa individu yang tidak bisa mengikuti arus globalisasi maka gaya hidupnya akan tertinggal. Gaya hidup disini merupakan cara individu untuk mengekspresikan cita-cita, kebiasaan dan opininya dengan lingkungannya melalui cara unik, yang menyimbolkan status dan peranan individu bagi lingkungannya (Surbakti dkk., 2022). Gaya hidup konsumerisme di era globalisasi saat ini seringkali terjadi di berbagai kalangan masyarakat, terutama pada masyarakat kelompok kelas menengah.

Berdasarkan data laporan BPS, penduduk yang masuk kategori menuju kelas menengah atau aspiring middle class pada 2024 melonjak drastis menjadi 137,50 juta jiwa atau 49,22% dari total penduduk. Jumlah penduduk kelas menengah Indonesia pada tahun 2024 ini tercatat oleh BPS sebanyak 47,85 juta jiwa atau 17,13% dari jumlah seluruh masyarakat di Indonesia. Selain itu, BPS juga mencatat penduduk dengan  kelompok masyarakat rentan miskin angkanya naik menjadi sebesar 67,69 juta jiwa atau 24,23% dari total penduduk.

Bank Dunia mengklasifikasikan masyarakat Indonesia menjadi lima kelas berdasarkan pendapatannya. Penentuan batas kelas-kelas tersebut menggunakan ketetapan Bank Dunia, yaitu Gross National Income (GNI) atau Pendapatan Nasional Bruto (PNB) per kapita, yang dikonversi menjadi rupiah per bulan menurut kurs dolar. Kelompok miskin dikategorikan dengan jumlah pengeluaran dibawah Rp 354 ribu dalam sebulan. Penduduk kelompok rentan miskin dikategorikan dengan jumlah pengeluaran sebanyak Rp 354 hingga Rp 532 ribu. Selanjutnya kelompok menuju kelas menengah atau aspiring middle class memiliki pengeluaran biaya hidup antara Rp 500 ribu hingga Rp 1 juta. Kelompok kelas menengah memiliki jumlah pengeluaran Rp 1-6 juta per orang setiap bulannya. Sementara itu, kelompok kelas atas memiliki pengeluaran lebih banyak dari 6 juta per orang setiap bulan.

Di Indonesia, penduduk kelas menengah memiliki pendapatan yang dapat dikatakan rendah, yaitu dengan interval pendapatan Rp 1,2 juta hingga 6 juta. Sementara untuk kelas menengah rentan berkisar  Rp 532 ribu - Rp 1,2 juta. Menurut BPS, ciri khas kelas menengah ke atas hingga menengah di bawahnya adalah pengeluaran untuk hiburan serta pengeluaran untuk kendaraan yang cukup signifikan. Sedangkan proporsi pengeluaran untuk makanan relatif kecil dibandingkan dengan kelompok-kelompok di bawahnya.  Berdasarkan laporan data dari Mandiri Spending Index (MSI), dinyatakan bahwa proporsi pengeluaran untuk belanja terkait hiburan dan lifestyle seperti sport, hobby, entertainment, beauty care, hingga handphone dan elektronik terus meningkat  menjadi 18,7% pada tahun ini. Di sisi sisi lain, pengeluaran untuk belanja barang-barang kebutuhan sehari-hari masih mendominasi dan trennya terus meningkat menjadi 41,8% pada tahun ini.

Sementara itu, seiring perkembangan waktu dan globalisasi, tren berbelanja yang semakin meningkat ini tentunya didukung oleh para produsen yang sering mengembangkan produknya, seperti adanya keluaran produk baru di tiap tahun atau bahkan di setiap bulannya dan adanya diskon, promo, hingga tawaran-tawaran menarik lainnya saat berbelanja. Oleh karena itu, kelompok kelas menengah yang sebagai konsumen, juga tak luput dari rasa kepuasan diri. 

Kelompok kelas menengah cenderung melakukan impulsive buying dan melakukan pemborosan, karena sering terjadi kebutuhan mendadak dan melakukan pembelian secara tiba-tiba tanpa adanya perencanaan sebelumnya juga tanpa memikirkan manfaat dari barang yang dibelinya. Selain itu, juga sering mengikuti tren, dipengaruhi oleh lingkungan, tidak mau kalah saing, serta mencari kesenangan semata dengan dalih self reward

Ketimpangan antara pendapatan kelas menengah yang hanya berkisar Rp 1,2 juta hingga 6 juta dan pengeluaran yang juga sama antara Rp 1-6 juta per orang setiap bulannya. Hal ini menekankan bahwa sifat konsumsi dan impulsive buying pada kelas menengah ini dipengaruhi oleh gaya hidup hedonisme dan simbol status sosialnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline