Lihat ke Halaman Asli

Ajang Pemilihan Miss Universe dengan Segala Kontroversinya

Diperbarui: 26 Agustus 2022   22:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Laksmi Shari De Neefe pemenang Puteri Indonesia 2022 akan mewakili Indonesia di ajang pemilihan Miss Universe yang akan diselenggarakan di Republik Dominika November 2022. Selalu muncul berbagai macam kontroversi seputar pemilihan Miss Universe. Ada beberapa kalangan yang menganggap ajang tersebut tidak pantas diikuti oleh Puteri Indonesia. Salah satu alasannya karena etika berbusana yang tidak sesuai dengan budaya Indonesia. Kalau menurut saya, acara tersebut tidak melecehkan kaum wanita. Jika yang dimasalahkan cuma penampilan dengan pakaian renang, bagaimana dengan wanita Indonesia di film-film atau berbagai sinetron yang kadang-kadang lebih vulgar? Bahkan, dengan tampil di ajang seperti itu, nama Indonesia akan lebih dikenal di seluruh dunia, sebab tayangan langsung tersebut diliput oleh banyak negara. Apalagi kalau sempat menang, dia akan menjadi duta Indonesia ke seluruh dunia. Pemerintah Indonesia jangan sampai didikte dan takut oleh golongan tertentu yang tidak setuju. Contohlah Malaysia yang berpikiran lebih maju, keadaan ekonominya lebih baik, padahal kekayaan alamnya jauh kalah dari Indonesia.

Sebagai seniman dan budayawan, Sujiwo Tejo menilai kepergian Putri Indonesia ke ajang Miss Universe sah-sah saja. Ajang yang memicu kontroversi tersebut juga dianggapnya tak bertentangan dengan budaya bangsa. Dari keseluruhan proses pemilihan putri cantik sejagad itu, yang menjadi kontroversi adalah bagian kontes pakaian renang. Kontes yang memperlihatkan kemolekan tubuh wanita itu dianggap tidak sesuai dengan budaya bangsa Indonesia. "Tentang kontes baju renang aku nggak masalah. Bagus-bagus aja. Budaya bangsa kita kalau mau yang asli sebenarnya malah adanya pakaian dalam itu dari luar. Aslinya suku bangsa kita nggak mengenakan busana. Yang bikin itu porno pikiran kita," ujar Sujiwo Tejo. Dalam ajang seperti ini tidak bisa dipungkiri kalau keindahan juga menjadi penilaian. Karena itu penilaian dari segi fisik selain dari segi perilaku dan wawasan juga sah-sah saja. Miss Universe juga dipandang Sujiwo Tejo bukan hanya sebatas ajang adu kecantikan. Untuk menerima mahkota tersebut, diperlukan adanya wawasan yang luas dan kepribadian yang menarik. "Aku suka sama ajang Miss Universe itu. Karena, salah satu tolak ukurnya bukan hanya kecantikan tapi bagaimana dia bisa berkepribadian dan menjelaskan budaya daerah yang diwakilinya. Kalaupun ada unsur kecantikan ya wajar saja. Kalau memilih antara dua calon yang satu pintar-cantik dan yang satu pintar-jelek pasti kita pilih yang pintar dan cantik," imbuhnya.

Kontroversi seperti ini sudah berlangsung cukup lama di Indonesia.  Sayangnya, media-media nasional atau lokal justru membesar-besarkan tanpa memberi kesempatan kaum wanita lain yang setuju. Apa yang terjadi sekarang ini adalah ''peperangan'' antara nilai-nilai lama yang sudah mapan di masyarakat dengan nilai-nilai baru yang mengancam kemapanannya. Nilai-nilai moral yang diadaptasi dari agama dibenturkan dengan kejadian yang dibungkus (kamuflase) atas nama estetika, seni, atau konsep B3 (beauty, brain, behaviour) dalam kontes Miss Universe. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah seberapa dominan faktor tersebut diperhatikan dibanding faktor kepentingan material, sehingga orang kemudian mendefenisikan estetika, seni, atau konsep B3 secara bebas. Atau adakah korelasi rasional antara B3 dengan sesi swimsuit.

Kontroversi ajang Miss Universe memuncak pada saat keikutsertaan Artika Sari Devi yang mewakili Indonesia di ajang pemilihan perempuan tercantik seantero jagat, Miss Universe, yang berlangsung di Thailand pada tahun 2005. Adapun ''biang kerok'' kontroversi itu adalah sesi swimsuit yang menampilkan peserta dengan busana minimalis, sehingga ''keindahan'' tubuhnya terlihat jelas oleh jutaan orang di seluruh dunia melalui media massa.

Artika adalah satu-satunya peserta yang menggunakan busana yang berbeda dari peserta lainnya. Pakaian yang ia kenakan dibuat lebih tertutup (one-piece) oleh panitia karena menghormati negara asal Tika yang berpenduduk mayoritas muslim. Namun, seperti yang kita lihat reaksi dari sebagian masyarakat tetap saja beragam, ada yang mendukung tetapi tak sedikit juga yang mengecam. Kelompok yang mengecam keikutsertaan Tika menganggap ajang tersebut tidak sesuai dengan budaya Timur terutama dengan nilai-nilai agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia. Saya di sini tak bermaksud mendukung atau menentang keikutsertaan Artika, namun sekadar mencoba sejenak merenungkan esensi dari realitas yang ada. Pertama, keikutsertaan Artika dalam kontes tersebut tidak terlepas dari kepentingan berbagai pihak di dalamnya termasuk Artika sendiri. Sebut saja pemerintah dalam hal ini memiliki kepentingan untuk menggunakan Tika sebagai agen untuk mempromosikan berbagai hal tentang Indonesia di luar negeri, terutama bidang pariwisata yang bermuara pada kemunculan citra positif Indonesia di luar negeri yang selama ini lebih terkenal oleh hal-hal negatif mulai dari sarang teroris sampai negara terkorup. Meskipun keefektifan seorang Tika di sini masih perlu diperdebatkan. Selanjutnya yang berkepentingan tentu saja para pemilik modal yang memberi support kepada Tika, baik secara moral maupun material. Artika sendiri memiliki kepentingan untuk memenuhi ambisi pribadinya, misalnya menjadi terkenal. Kedua, kontroversi yang muncul merupakan potret dari masyarakat kritis yang menolak, menyaring dan memprotes segala sesuatu yang terjadi di sekitar mereka maupun realitas yang disuguhkan media dengan satu standar moral, baik nilai-nilai agama ataupun nilai luhur suatu kebudayaan. Namun, standar yang digunakan oleh sekelompok orang tersebut tampaknya tidak berlaku bagi masyarakat lainnya atau tidak memiliki kekuatan (powerless).

Hal ini diakibatkan oleh nilai-nilai moral itu sendiri sudah mengalami sekian pergeseran dan dekonstruksi sebagaimana yang dikemukakan Baudrillard, bahwa segala asumsi (termasuk asumsi moral) kini telah didekonstruksi, telah dihancurkan. Tidak ada lagi referensi moral. Seluruh jagat moral telah didekonstruksi. Apa yang tersisa hanyalah puing-puing. Yang masih tersisa untuk dilakukan adalah bermain-main dengan puing-puing (moralitas) ini. Bermain-main dengan puing-puing-itulah posmodernisme (dikutip dari Y.A. Piliang; 352-353). Realitas yang ada ini mengarah kepada degradasi nilai-nilai yang mengikat individu ke dalam masyarakat selama ini. Artinya, setiap orang kemudian merasa bertanggung jawab kepada dirinya sendiri. Nilai-nilai universal dalam masyarakat suatu saat menjadi tidak berlaku terhadap seseorang, digantikan oleh nilai-nilai individual yang diyakininya. Hal ini terlihat misalnya dengan ungkapan ''Terserah apa kata orang, toh yang jalani saya...''. Ungkapan tersebut cukup sering kita dengar dari mulut selebritis di televisi. Fenomena ini menunjukkan bahwa ada kalanya seseorang yang bertindak atas pribadinya mengabaikan sekian norma yang dianut oleh masyarakat sekitarnya, tetapi menolak jika dikatakan bahwa ia telah melanggarnya. Kasus Artika bukanlah yang pertama. Inul dengan goyang ngebornya juga menyebabkan guncangan yang cukup keras terhadap stabilitas sosial masyarakat. Namun, seiring perjalanan waktu kasus tersebut hilang dengan sendirinya.

Apa yang terjadi sekarang ini adalah ''peperangan'' antara nilai-nilai lama yang sudah mapan di masyarakat dengan nilai-nilai baru yang mengancam kemapanannya. Nilai-nilai moral yang diadaptasi dari agama dibenturkan dengan kejadian yang dibungkus (kamuflase) atas nama estetika, seni, atau konsep B3 (beauty, brain, behaviour) dalam kontes Miss Universe. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah seberapa dominan faktor tersebut diperhatikan dibanding faktor kepentingan material, sehingga orang kemudian mendefenisikan estetika, seni, atau konsep B3 secara bebas. Atau adakah korelasi rasional antara B3 dengan sesi swimsuit ? Dalam memandang masalah ini menarik juga jika kita mencermati ungkapan Donny Gahral Adian bahwa realitas yang rasional belum tentu mencerminkan rasionalitas manusia. Kontes Miss Universe yang menyebabkan kontroversi memunculkan hal baru yakni redefenisi dan dekonstruksi sistematik terhadap nilai-nilai yang telah lama tertanam dalam masyarakat. Hal ini berlangsung dengan dukungan oleh kekuatan kapital dan kekuasaan yang masuk ke setiap sudut ruang publik melalui media. Masyarakat, dalam hal ini kelompok yang menganut nilai-nilai lama, menghadapi dua tantangan yakni pertama, menjaga agar tidak terbawa oleh derasnya arus informasi. Kedua, bersiap-siap untuk diberi stigma kolot, konservatif oleh kelompok masyarakat lain yang secara sadar atau tidak sadar telah terpengaruh oleh informasi tadi. Besarnya peran media dalam menyebarkan informasi bisa kita lihat misalnya dalam sebuah karikatur ada tulisan yang provokatif persuasif berbunyi: ''... Saya tidak pro ataupun kontra, saya cuma bangga kali ini kita dikenal dunia bukan karena korupsinya. Lalu kelompok manakah yang akan memenangkan ''peperangan'' ini? Hanya waktulah yang bisa menjawab. Yang jelas setiap orang harus siap dengan konsekuensi dari pilihannya masing-masing. Demikian pun dengan negara ini harus siap menghadapi gejolak di masyarakat karena telah memilih sistem demokratis yang menghargai setiap perbedaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline