[caption id="" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi - Ribuan bendera Merah Putih dikibarkan masyarakat di Meulaboh, Senin (1/4/2013). ((KOMPAS/MOHAMMAD HILMI FAIQ)"][/caption]
Negara tetangga seperti Malaysia, Singapura dan Brunai boleh saja lebih makmur dibanding Indonesia. Pendapatan perkapita mereka, satu setengah sampai lima kali lipat pendapatan perkapita orang Indonesia. Namun dalam hal demokrasi, Indonesia unggul segala-galanya dari negara jiran tersebut.
Memang benar, demokrasi bukanlah tujuan. Demokrasi hanyalah sebuah alat untuk mencapai tujuan. Namun, proses melalui demokrasi dinilai lebih asyik dan menyenangkan buat masyarakat dalam mencapai tujuan dibanding cara yang lain. Setiap orang punya hak yang sama dalam berbagai hal. Satu orang satu suara menjadi salah satu patokan penting dalam prinsip demokrasi, yang tidak terdapat pada sistem lainnya.
Malaysia dan Brunai adalah dua negara berbentuk kesultanan dan kerajaan. Pemegang kekuasaan tertinggi adalah raja dan sultan. Suara dari kerajaan dan kesultanan adalah suara tertinggi. Memang akan sangat bagus jika sikap, perilaku, tindakan dan kebijakan raja/sultan bersifat positif. Masyarakat akan merasakan hal yang sama sebagai dampaknya. Namun, ketika raja atau sultan membuat kebijakan yang negatif, maka rakyat tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka tidak punya hak untuk bersuara dan berpendapat.
Demikian pula Singapura. Meski bukan negara kerajaan atau kesultanan, namun sistem pemerintahan Singapura dikendalikan oleh pihak tertentu, yang sangat kuat. Bahkan Singapura dijalankan seolah-olah sebuah perusahaan, dengan perdana menteri sebagai CEO-nya dan pihak tertentu sebagai komisarisnya. Masyarakat Singapura cenderung nyaman dengan sistem tersebut karena segala kebutuhan mereka sudah terpenuhi.
Namun dari berbagai informasi dan berita di banyak media, sesungguhnya sebagian warga Singapura, Malaysia dan Brunai iri juga dengan kondisi demokrasi di Indonesia. Orang Indonesia walaupun tidak lebih kaya dari mereka, namun memiliki kebebasan untuk bersuara, berpendapat, dengan kebebasan yang jauh lebih besar dibanding mereka. Pesta demokrasi 5 tahunan dalam bentuk pemilu legislatif dan pemilu presiden tidak luput dari perhatian mereka.
Selama 10 tahun terakhir, mata publik tetangga makin terbuka, karena iklim demokrasi di Indonesia yang semakin baik. Menurut mereka, kepemimpinan SBY berhasil menjadikan Indonesia sebagai negara demokrasi besar yang layak dicontoh. Dalam berbagai tulisan pengamat di media-media negara tetangga, SBY termasuk pemimpin Indonesia yang berhasil membangun Indonesia menjadi negara yang patut diperhitungkan. Nilai untuk SBY rata-rata 8. Tentu saja penilaian itu tenggelam oleh hiruk pikuk kepentingan politik di Indonesia, yang menganggap SBY gagal dalam banyak bidang. Sementara orang luar lebih banyak melihat sisi positifnya.
Saya ingat betul sebuah tulisan di Strait Times Singapura yang menyebutkan bahwa Indonesia sudah berada di jalur yang benar dalam hal pembangunan dan demokrasi. Presiden SBY dianggap sudah berhasil meletakkan dasar dan fondasi yang kuat, untuk pemerintahan selanjutnya. Tulisan itu memuji sejumlah kebijakan SBY, yang sistematis dan terstruktur. Suatu hal yang luput dari kacamata orang Indonesia sendiri.
Selain Singapura, Malaysia dan Brunai, tetangga ‘berisik” kita, yaitu Australia, juga mengagumi perkembangan Indonesia dalam 10 tahun terakhir. Silakan baca kolom-kolom opini media massa Australia, cukup banyak pakar, pengamat atau masyarakat Australia yang mengapresiasi keberhasilan Indonesia dalam 10 tahun terakhir. Suksesnya pesta demokrasi yang berakhir 22 Juli lalu, boleh jadi menjadi puncak dari apresiasi negara tetangga tentang keberhasilan Indonesia selama 10 tahun itu. Pesta demokrasi yang aman, damai dan lancar, meski diwarnai dengan riak-riak perbedaan pendapat berbagai kubu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H