Berkali-kali presiden SBY menyatakan bahwa dirinya kecewa berat terhadap lolosnya RUU Pilkada tidak langsung, menjadi sebuah undang-undang. Kekecewaan SBY pertama kali disampaikan kepada wartawan yang meliput kunjungan kenegaraannya di Amerika Serikat. Pernyataan tersebut dipertegasnya kembali lewat tayangan di media sosial Youtube, yang menjelaskan panjang lebar tentang alasan keberatannya. SBY kembali menyatakan sikapnya tersebut di hadapan civitas akademika sebuah kampus di Kyoto Jepang, yang memberinya gelar doktor honoris causa.
Selain itu, SBY juga menelpon langsung Ketua MK untuk berkonsultasi tentang langkah hukum yang dapat ditempuh terkait UU Pilkada. Juga termasuk sikapnya jika menolak menandatangani Undang-undang tersebut. Tidak hanya sampai di situ, SBY juga memanggil mantan merteri yang juga pakar hukum tata negara, Prof. Yusril Ihza Mahendra ke Jepang, untuk berdiskusi soal Undang-undang Pilkada.
Dari kacamata awam seperti saya, rangkaian sikap SBY tersebut menunjukkan keseriusannya dalam menghadapi Undang-undang Pilkada. Tidak mungkin hanya bersandiwara seperti dituduhkan banyak pihak, khususnya mereka yang pro Pilkada langsung. Tingkat keseriusan SBY ini bahkan saya anggap lebih besar daripada ketika SBY marah atas Australia yang melakukan penyadapan terhadap dirinya, ibu negara dan sejumlah pejabat lain. Tingkat kemarahan SBY pada waktu itu sudah cukup keras, yang ditandai dengan pernyataan sikap tegas, keras, plus bahasa tubuh yang juga keras. Waktu itu, media-media Australia memperlihatkan mimik dan gestur SBY yang marah tersebut.
Kalau kita lihat mimik dan gestur SBY ketika menyampaikan sikapnya terkait RUU Pilkada, terlihat sekali bahwa dia kecewa, kesal, geram dan bahkan marah. Intonasi bahasa dan gerak tubuhnya sesuai. Tidak terlihat bahwa SBY sedang berakting atau bersandiwara. Coba deh tanyakan kepada pakar akting seperti Didi Petet, apakah sikap SBY seperti akting?
Saya hakul yakin SBY akan terus melakukan sejumlah langkah, untuk menggagalkan Undang-undang Pilkada. Kalau saya buka buku Selalu Ada Pilihan karya SBY, Undang-undang Pilkada ini sangat bertentang dengan sikap SBY. Meskipun SBY adalah seorang tentara yang lekat dengan otoritarian, namun dalam bernegara dan pemerintahan, SBY menganut sistem demokrasi. Sikap demokratisnya sudah terbukti selama 10 tahun, seperti tidak pernah melakukan tindakan kekerasan kepada para pengkritik atau mereka yang berseberangan dengannya. Pun terhadap pers, SBY sangat bersahabat walau pers selalu mengkritiknya secara tajam. Sikap-sikapnya tersebut mampu dipertahankan SBY selama berkuasa dan membuktikan bahwa dirinya demokratis.
Lalu kenapa Demokrat, partai yang dipimpinnya seperti tidak mendukung Pilkada langsung? Cobalah ditengok lagi secara jernih. Awalnya Demokrat mendukung Pilkada langsung, tapi karena perkembangan politik dengan koalisi Merah Putih kemudian Demokrat beralih mendukung Pilkada lewat DPRD, sampai akhirnya SBY turun tangan dan mengembalikan sikap Demokrat mendukung Pilkada langsung. Jadi, karena SBY turun tanganlah kemudian Demokrat berbeda sikap dengan Koalisi Merah Putih dan mendukung Pilkada langsung.
Nah yang terjadi di DPR pada saat voting RUU tersebut, sampai sekarang masih misteri kan. Apakah atas perintah SBY atau inisiatif kader Demokrat di DPR. Saya sih yakin, SBY tidak memerintahkan walk out…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H