Lihat ke Halaman Asli

Apriliana Limbong

Aktivis Sosial dan Kemasyarakatan

Lima Alasan Jokowi Harus Belajar Kepada SBY

Diperbarui: 17 Juni 2015   21:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Jokowi memang populer dalam lima tahun terakhir, dan puncaknya menjelang pemilu presiden 2014. Media massa mengelu-elukan Jokowi sebagai calon pemimpin yang bakal mengubah Indonesia. Sebagian besar pengagumnya pun meyakini Jokowi dapat diandalkan untuk memimpin Indonesia dengan lebih baik.

Tapi saya berpendapat berbeda ya… ada sejumlah hal yang dapat membuat Jokowi gagal menjalankan harapan besar tersebut.  Saya juga sebenarnya berharap Jokowi sukses, karena buat saya, siapapun presidennya tidak terlalu peduli, yang penting harga-harga barang di pasar terjangkau dan selalu tersedia. Ekonomi stabil dan keamanan terjaga. Cukup. Perut kenyang dan aman adalah harapan warga seperti saya ini. Tidak pernah lebih dari itu. Kecuali mereka yang punya kepentingan berbeda, saya tidak tahu.

1.Jokowi tersandera PDI P, khususnya tersandera oleh Megawati. Salah besar jika sekarang banyak pihak mengatakan Jokowi tersandera oleh Koalisi Merah Putih, pendukung Prabowo. Salah. Yang menyenderanya justru PDI P dengan bu Meganya. Lihatlah strategi politik PDI P di DPR dan MPR. Amburadul. Kalah terus oleh KMP. Padahal, sejumlah peluang terbuka lebar terutama dalam pemilihan pimpinan MPR semalam. Jumlah DPD dan PPP yang merapat ke kubu mereka, lebih dari cukup untuk mengalahkan KMP. Tapi lobi politik PDI P memble.

2.PDI P (dan bu Mega) sombong. Dalam politik, menurut para pengamat, tidak boleh sombong. Harus lentur, harus fleksibel. Sehebat apapun Anda, kalau tidak mendapatkan dukungan dari kekuatan politik lainnya, pasti berat. Apalagi PDI P hanya menguasai 19 persen kursi DPR. Apanya yang bisa disombongkan? Seharusnya mereka tidak kaku, tidak sombong, tidak sok suci. Tujuan yang lebih besar seharusnya menjadi patokan. Jangan karena gengsi, tujuan besar itu akhirnya tak tercapai. Akibat dari kesombongan tersebut, Jokowi-lah yang merugi. Yang jadi korban… siapa lagi kalau bukan rakyat.

3.Pernyataan-pernyataan yang terlalu percaya diri. Percaya diri boleh. Tidak takut boleh. Tapi kalau berlebihan, justru jadi bumerang. Politik itu bukan soal percaya diri. Apalagi sistem politik di Indonesia seperti sekarang. Pernyataan percaya diri, yang tidak sesuai dengan peta kekuatan politik, jelas menjadi bumerang. Kekuatan politik lain pasti akan meradang dengan terlalu percaya dirinya Jokowi. Namanya juga manusia biasa, ego mereka itu masih kuat. Balas dendam politik terjadi di Senayan. Yang rugi siapa? Ya, kami inilah… rakyat.

4.Popularitas itu tidak berarti apapun, tanpa kekuatan politik yang memadai. Jokowi memang populer, bahkan sampai ke mancanegara. Tapi popularitas itu tidak ada artinya di mata kekuatan politik yang berbeda. Jokowi dan partai pengusungnya harus lebih pandai membangun kekuatan politik. Sekarang ini, mereka terlihat memble dalam membangun kekuatan politik. PPP, PAN dan Demokrat yang kadang masih lentur, tetap saja gagal mereka rangkul. Padahal, kalau ketiga pihak itu bergabung… Jokowi-JK akan lebih kuat. Itulah realitas politiknya. Bukan idealisme politik. Ah, anak kecil juga tahu…

5.Jokowi punya atasan sih, yang namanya bu Mega. Sikap bu Mega begitu kuat memengaruhi Jokowi. Padahal, dengan popularitas dan dukungan masyarakat, seharusnya Jokowi mampu melepaskan diri dari kungkungan bu Mega. Hormat boleh, jaga etika boleh, tapi jangan sampai menempatkan Mega sebagai atasan dong. Atasan pak Jokowi itu adalah rakyat. Bukan bu Mega. Sikap bu Mega yang masih memusuhi SBY, menjadi salah satu faktor kegagalan Jokowi dalam memperkuat pasukan politiknya. Dalam sistem politik Indonesia sekarang, posisi Jokowi saat ini sangat rentan!

Nah, lima hal itulah – versi saya tentunya – yang harus menjadi perhatian Jokowi kalau mau memimpin Indonesia sesuai dengan harapan masyarakat. Atau setidaknya 50-70% sesuai harapan deh. Kalau tidak diubah dan diperhatikan, boro-boro 50%, mungkin malah terhenti di tengah jalan. Saya melihat gelagat itu dengan nyata.

Mau tahu caranya pak Jokowi?

Gampang, belajarlah kepada Susilo Bambang Yudhoyono! Dalam buku Selalu Ada Pilihan (SAP), SBY dengan gamblang menjelaskan strategi-strategi politiknya. Mau bagaimana lagi? Sistem politik Indonesia tidak memungkinkan perilaku presiden yang semau gue, tidak memungkinka presiden berbuat sekehendak hati… semua harus dikonsultasikan, dipersetujui, dan didukung oleh parlemen. Itu sistemnya, Mau bagaimana lagi? Kalau mau tetap dengan gaya sekarang dan berhasil, ubah dulu sistem politik itu.

SBY memilih untuk berkompromi. Bukan demi dirinya sendiri, tapi demi bisa berjalannya roda pemerintahan dengan nyaman dan lancar. Terbukti, meski dengan sejumlah konflik politik, SBY sukses melewati  5 tahun pertama. Padahal, SBY hanya didukung oleh partai kecil peraih 7% suara. Tapi SBY berhasil merangkul kekuatan politik mayoritas. Keberhasilan itu berlanjut, pada periode kedua. Meski partai pengusungnya meraih 20% suara,  SBY tidak lantas menjadi sombong. Dia sadar, tidak mungkin menjadi hebat dengan 20% suara di parlemen. Dia harus tetap merangkul kekuatan politik lainnya. Terjadi deal-deal politik, yang tak terhindarkan. Tidak apa-apa dihujat rakyat, tapi program bisa berjalan.

Selama 10 tahun ini, SBY relatif sukses menjaga stabilitas ekonomi, stabilitas politik, dan stabilitas keamanan. Itu faktanya. Tak terbantahkan. Dalam ilmu politik manapun, stabilitas itulah yang menjadi dasar dari berjalannya seluruh program sebuah pemerintahan. Meski banyak kekurangan, tapi saya dan keluarga masih bisa hidup normal… tidak ketakutan dan tidak kelaparan. Masih bisa bekerja. Masih bisa mengurus keluarga.

SBY mampu melakukan itu  semua, karena dia tidak punya atasan yang mengangkangi kebijakannya. Dia bebas berstrategi, seperti dalam buku SAP itu. Dia tidak punya atasan politik seperti bu Mega dalam kasus pak Jokowi. SBY juga tidak tersandera partainya sendiri, justru partainyalah yang dia kendalikan. Sekali lagi, meski SBY masih banyak kekurangan, tapi tetap jauh lebih baik daripada baru mau mulai saja, politik kita sudah ribut dan semrawut. Tidak stabil.

Semoga Jokowi cepat belajar. Belajarlah kepada yang sudah terbukti. Jangan belajar kepada yang gagal, apalagi kepada si mbok yang hatinya masih diselimuti dendam politik tiada ujung. Kalau tidak cepat belajar, yang rugi kami pak… rakyat. Tolong, realistislah!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline