Jimly Asshiddiqie mendefinisikan hak konstitusional sebagai hak yang dijamin di dalam dan oleh konstitusi negara. Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar NRI 1945 menegaskan, "Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak -hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang." Penjelasan pasal tersebut menafsirkan bahwa masyarakat adat memiliki eksistensi dan haknya diakui oleh konstitusi. Frasa Masyarakat Adat dan masyarakat tradisional dalam konstitusi memiliki koherensi dengan nomenklatur masyarakat adat. Adapun hak masyarakat adat yang dimaksud ialah hak ekonomi, hak sosial, hak politik, hak budaya, dan hak mengelola hutan.
UUD NRI 1945 sebagai aturan tertinggi dalam hierarki perundang-undangan memuat prinsip dasar hukum, sebagaimana disampaikan Gustav Radbruch, tentang kepastian, keadilan, dan kemanfataan. Kepastian hukum, menurut Sudikno Mertokusumo, adalah jaminan bahwa hukum itu dijalankan dalam hal ini yang berhak menurut hukum dapat memperoleh haknya. Ditambahkan oleh Radbruch bahwa prinsip kepastian hukum merupakan tinjauan dari sudut pandang yuridis yang koheren dengan aturan hukum.
Hak Konstitusional yang Diciderai
Kesenjangan das sollen dengan das sein rupanya niscaya terjadi. Meskipun undang-undang menjadi jaminan, namun kerap kali pelaksanaannya tidak sesuai dengan tujuannya. Dalam kondisi demikian, kepastian hukum terciderai. Sejalan dengan hal tersebut, masih ditemukan pengingkaran amanat konstitusi yang berkaitan dengan hak masyarakat adat. Hal ini dapat dilihat berdasarkan data YLBHI yang menunjukkan terjadi pelanggaran hak masyarakat adat di Indonesia tahun 2020. Terdapat 13% masyarakat adat menjadi korban pelanggaran hak hidup, perampasan tanah dengan presentase nilai 20% hingga 13 kasus kriminalisasi masyarakat adat dengan jumlah korban 55 orang. Selain itu, ditemukan 19 kasus dalam konflik agraria dengan kategori perampasan tanah, pengrusakan kebun, pengusiran paksa, dibangun kebun atau pabrik secara sepihak, menentukan kawasan sepihak, dan permintaan meninggalkan lahan.
Penjelasan di atas menggambarkan kondisi masyarakat adat mengalami gelombang permasalahan yang harus segera diatasi. Adapun terdapat RUU masyarakat adat yang mengalami proses legislasi cukup panjang. Telah ada pembahasan RUU tentang masyarakat adat dalam Pansus tahun 2014 namun tidak selesai. Pada tahun 2017 RUU ini masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas. Namun hingga akhir jabatan anggota DPR periode 2014-2019 pemerintah tidak menyerahkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) kepada DPR, sehingga RUU tidak dapat dilanjutkan pembahasannya, RUU a quo kembali masuk dalam Prolegnas prioritas tahun 2020.
Sederet permasalahan tidak terpenuhinya hak masyarakat adat padahal telah diakui dan dilindungi oleh konstitusi, ditambah terjadi penundaan pembahasan RUU Masyarakat Adat secara berulang, menjadi urgensi untuk disahkannya RUU ini. Kedepan, regulasi ini dapat menjadi jaminan pengakuan dan perlindungan masyarakat adat yang berprinsip pada kepastian, keadilan, dan kemanfataan. Hal tersebut dapat bermuara kepada tercapainya kesejahteraan bagi masyarakat adat karena di dalamnya juga mengatur tentang mekanisme penyelesaian konflik masyarakat adat.
Catatan atas Substansi RUU
Mochtar Kusumaatmaja mengemukakan bahwa hukum bukan undang-undang saja, dan hukum bukan hal yang sama dengan resmi belaka. Dalam hal pembentukan peraturan perundang-undangan berdasarkan tiga aspek yang menjadi pertimbangan yakni yuridis, filosofis, dan sosiologis. Hal tersebut sejalan dengan aliran sociological jurisprudence yang memberikan penjelasan bahwa hukum hendaknya sesuai dengan hukum yang hidup di masyarakat dan merefleksikan nilai hidup di masyarakat. Hal tersebut bukan tanpa alasan, karena apabila terjadi sebaliknya maka tidak akan dapat bekerja dan akan mendapatkan tantangan.
Begitu pula, dalam konteks RUU Masyarakat Adat, terdapat tiga landasan utama yang mendasari penyusunan RUU ini. Pertama, landasan yuridis yang memandang adanya relevansi bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan dengan materi yang diatur terutama apabila diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang secara hierarki lebih tinggi. RUU ini memiliki landasan yuridis seperti adanya nomenklatur Masyarakat Adat dan masyarakat tradisional dalam konstitusi. Kedua istilah tersebut juga berhubungan dengan istilah masyarakat adat. Lebih rinci, penyebutan kedua istilah tersebut dijelaskan dalam Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) UUD NRI 1945.
Kedua, landasan filosofis terkait dengan pembentukan hukum yang mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum falsafah yang bersumber dari Pancasila dan UUD NRI 1945. Aspek ini dapat dihubungkan dengan negara Indonesia yang memegang konsep welfare state atau negara kesejahteraan. Hal tersebut dapat dilihat dalam Pembukaan UUD NRI 1945 Alinea ke-4. Selain itu, dijelaskan mengenai eksistensi dan pengakuan masyarakat adat dalam konstitusi. Perlu dipahami bahwasanya masyarakat adat merupakan penyandang hak dalam mengurus diri sendiri karena pada hakikatnya merupakan masyarakat yang memiliki sistem pengurusan sendiri.
Ketiga, landasan sosiologis memiliki kedalaman makna bahwa hukum dibentuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan berlakunya hukum juga diterima oleh masyarakat. Secara sosiologis, RUU ini menegaskan fakta Indonesia yang merupakan negara majemuk, yang di dalamnya terdiri atas masyarakat yang beragam. Dengan demikian, negara hendaknya mengambil peran untuk mengakomodir keberagaman itu untuk memberikan pengakuan, perlindungan, dan kepastian dalam pemenuhan hak masyarakat adat.
Namun demikian, dalam RUU ini masih ditemukan celah yang berpotensi membahayakan masyarakat adat itu sendiri. Sebut saja mengenai pengakuan masyarakat adat yang dijelaskan dalam Pasal 4 sampai Pasal 19 RUU Masyarakat Adat, dimana pengakuan diberikan dengan syarat pendataan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 6 ayat (2), yakni memiliki komunitas tertentu dalam bentuk paguyuban, mendiami wilayah adat secara turun temurun, memiliki kearifan lokal dan identitas budaya, memiliki perangkat hukum yang ditaati masyarakat adat, dan memiliki kelembagaan adat yang diakui. Selain itu terdapat tahapan pengakuan berdasarkan Pasal 5 yang terdiri atas identifikasi, verifikasi, validasi, dan penetapan.