Lihat ke Halaman Asli

Penyair di Masa Lalu

Diperbarui: 26 Februari 2017   08:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

foto: aprillia ramadhina

“Bacaan apa yang kau suka?”

“Aku suka karyanya Kafka dan Kundera. Dua penulis itu yang paling kusuka. Kau?”

“Aku suka puisi Neruda dan Poe. Menurutku mereka penyair yang luar biasa. Juga Rilke, ya, dan Pizarnik. Bagiku puisi selalu punya kekuatan magis.”

Wajahnya lucu sekali ketika tersenyum, persis penyairku yang dulu.

“Kau akan tinggal berapa lama di Jogja?”

“Selama aku ingin.” ujarku

 “Kau suka puisi?”

Ah, pertanyaan ini….

“Ya. Sesekali aku menulis puisi, tapi tak sampai hati kusebut diriku penyair. Karena para penyair sungguhan pasti akan menggodaku, ‘Kamu itu puisi, masa’ puisi nulis puisi.’ Kata-kata itu tak hanya keluar dari satu penyair saja.”

“Kalau aku akan bilang, puisi yang menulis puisi itu punya nilai estetika yang sangat tinggi.”

Naufal Bastian. Seorang penyair, mengajakku berkenalan di acara peluncuran buku Malaikat Salju yang ditulis temanku. Mengenal dirinya, membuatku bertanya-tanya sendiri, entah berapa penyair lagi yang harus kutemui ketika aku berkunjung ke Yogyakarta. Melihat Naufal membuat ingatanku melayang kepada penyairku yang dulu. Setelah 5 tahun tak bertemu, 6 bulan lalu, takdir mempertemukan kami sejenak, di sebuah pameran. Pameran patah hati. Ketika bertemu dengannya saat itu tiba-tiba hatiku terasa patah lagi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline