Lihat ke Halaman Asli

Cak Koekoeh

Researcher

[Hari Ibu] Sebuah Kebahagiaan yang tak Sempat Kubagi Padamu

Diperbarui: 19 Desember 2015   22:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Teringat kembali bagiku hari ibu yang diperingati setiap tanggal 22 desember, bulan yang berada dipenghujung tahun ini memberiku kenangan yang sangat dalam terhadap ibuku yang tercinta. Bulan ini mengingatkanku 2 tahun lalu tepatnya tanggal 5 desember 2013 hari kamis malam jumat dimana pada malam itu aku mengantarkan ibu ke sebuah rumah sakit di Surabaya timur,pukul 23.30 sempat aku membacakan Surat Yasin disamping telinga beliau, saat itu ibu sedang berjuang melawan penyakit asam lambung akutnya hingga tak berdaya dan malaikat maut menjemputnya membawa ke kehadirat-Nya, saat itu kulihat jam didinding rumah sakit menunjukkan pukul 05.30 hari jumat pagi keesokan harinya. Innalillahi wa inna illaihi rajiun, ibuku telah tiada, orang tua satu-satunya yang tersisa dihidupku telah pergi meninggalkanku.

Ibuku meninggalkanku saat beliau berumur 60 tahun saat itu, sedangkan ayahku telah wafat terlebih dahulu ketika usiaku belum genap 2 tahun. Selama kurang lebih 27 tahun ibuku hidup dan berjuang untuk membesarkan anak satu-satunya dan selama itu pula ibu tidak pernah lagi menikah untuk menjaga cinta sang ayah, sehingga ibu menjadi seorang ayah sekaligus ibu bagiku. Hari-hari kulewati dengan ibu disebuah rumah sederhana dikawasan Surabaya timur yang merupakan warisan dari orangtua angkat ibu ukurannya 4x9 meter,  sebuah rumah yang menurutku cukup luas bagiku karena hanya ditempati oleh dua orang aku dan ibuku.

Ibuku adalah seorang chef lokal yang handal (kata orang-orang kampung) walaupun SD putus sekolah pada saat kelas 5, selain membuka warung disebuah lokasi kecil diujung jalan kampung, ibu juga sering mendapat pesanan kotakan nasi bagi tetangga yang sedang punya hajat. Warung itu tempat keseharian ibu mengais rupiah ditengah ramainya bising kota Surabaya. Setiap pulang sekolah SD aku sering ikut membantu untuk sekedar mencuci piring dan membuatkan teh manis atau es teh bagi pembeli yang datang. Setiap harinya warung itu buka pukul 05.00 sampai 21.00.

Menjadi seorang dengan usaha warung bukanlah semudah saat kita melihat, membeli dan menyantap hidangan tersebut. Setiap pagi sebelum suara adzan subuh terdengar, ibu sudah bangun untuk menghangatkan lauk yang telah dimasak malam kemaren juga menambah lauk baru bagi pelanggan yang hendak membeli sarapan, ibu selalu bangun tidak pernah lewat dari pukul 03.30 pagi, akupun sering molor baru jam setengah lima bangun tetapi ibu tidak pernah marah ataupun ngoyak-ngoyak diriku untuk bangun. Setelah bangun dan shalat shubuh, aku harus kepasar induk yang dekat dengan stasiun kereta api untuk mengambil bahan-bahan dan bumbu warung dipedagang langganan.

Malam harinya setelah warung tutup ibu tidak bisa langsung istirahat, lauk-pauk yang disiapkan besok pagi harus segera diolah dan dijadikan setengah matang hingga pagi tinggal menghangatkan, itu baru selesai sekitar pukul 22.30, jadi bisa dihitung berapa waktu istirahat ibuku, kurang lebih setiap hari hanya 4-5 jam sehari. Benar-benar begitu banyaknya waktu yang dikorbankan oleh seorang ibu terhadap keluarganya, tetapi terkadang kita sebagai anak tidak pernah menghargai waktu yang telah dilewatkan ibu untuk kita.

Suatu ketika budhe ibuku tempat dimana warung kecil itu meninggal dunia, anaknya kemudian menjual rumah tersebut kepada orang lain untuk dibagikan warisan kepada anak-anaknya yang lain. Tentu saja ibu harus mencari pekerjaan baru, karena rumah yang dijual tadi dibeli oleh orang-lain dan dirombak total termasuk warung ibu harus ikut tergusur.  

Untuk menyambung hidup ibu lalu bekerja serampangan dengan menerima cucian dari tetangga sekitar kemudian menyetrikan dan mengembalikannya,aku sering mengantarkan cucian yang sudah bersih ketetangga tersebut serta mengambil cucian yang kotor untuk dibawa kerumah dicucikan. Waktu itu usaha loundry tidak sebanyak saat ini dan pekerjaan sebagai tukang cuci merupakan salah satu status sosial yang rendah dimata masyarakat tetapi ibu tidak memperdulikan itu, demi menyambung hidup dan yang penting halal untuk dimakan. Beliau selalu berpesan untuk jujur dan jangan sampai hasil yang dimakan itu dari yang haram.

Suatu ketika saat sebuah celana dari pelanggan cucian yang masih kotor sebelum dimasukkan ke bak yang penuh sabun, saya hitung dan raba-raba saat itu aku menemukan 2 lembar uang dua puluh ribuan disaku celana itu, ibu berpesan untuk mengembalikan uang itu kepada yang punya celana, setelah dicuci bersih dan di setrika akupun mengantarkan celana tersebut kepada yang pelanggan yang punya itu sambil menyerahkan uang yang tertinggal disakunya, satu dia ambil dan satu lagi diberikan kepadaku untuk tambahan membeli kebutuhan sekolah, pesan dari pelanggan tersebut. Kejujuran memang menjadi hal yang selalu ditanamkan ibu kepadaku.

Pernah suatu ketika saat masih kecil aku iri melihat anak tetangga yang makan es krim Wa**S, kemudian aku merengek untuk minta dibelikan es itu, aku tahu saat itu memang es krim adalah sebuah makanan mewah dan uang ibu waktu itu pas-pasan tetapi ibu tetap saja membelikannya untukku. Ketika sekarang ini baru aku sadar bahwa merengek meminta sesuatu kepada orang-tua bila tidak bertentangan dengan kejahatan orang-tua tersebut tentu akan memberikannya. Begitu juga dengan Dia Yang Maha Pemurah, jika kita merengek meminta sesuatu kepada-Nya asalkan tidak bertentangan dengan ajaran agama, apa mungkin Dia Sang Pencipta tidak akan memberikannya ? apalagi jika permintaan tersebut diajukan saat tengah malam yang hening. Sejak saat itu aku baru mengetahui jawaban dari sebuah faslasah jawa bahwa sosok ibu adalah Pengeran Sing Katon (sosok ibu adalah sosok tuhan yang terlihat). Dialah ibu yang telah menyimpan kita disuatu tempat bernama rahim (penyayang), yang mengasihi dan menyayangi, hingga kita besar tanpa pernah meminta upah sepeserpun kepada kita.

Kehilangan seorang ibu dua tahun lalu merupakan pukulan telak yang aku dapatkan, sebuah ujian yang sangat dalam ketika orang yang benar-benar mendidik dan membesarkan kita serta begitu berjasanya terhadap kita, setelah kita dalam keadaan berkecukupan tidka sempat berbagi kepada beliau. Walapun memang kita tidak akan pernah mampu membalas jasa orang tua kepada kita atas apa yang telah beliau berikan dari saat kita lahir hingga dewasa, mulai dari pertama kali kita menangis saat dilahirkan, diberi nama yang indah hingga diberikan pendidikan yang terbaik agar kita kelak menjadi manusia yang berguna bagi sesama manusia. Seperti itulah kedua orang tua kita, sebesar apapun yang kita berikan kepadanya niscaya tidak akan pernah bisa membalas kebaikan mereka berdua.

Ibu hanya bisa mendampingiku sampai aku menikah dibulan juni 2013, pada bulan desember 2013 ibu harus menghadap Sang Khalik, tetapi Tuhan memang selalu sayang terhadap umatnya, kesedihan yang kurasakan setelah ditinggal ibu pergi selamanya digantikan oleh kehadiran bayi kecil laki-laki yang lahir pada tanggal 26 maret 2014. Saat itu hatiku merasa senang tetapi tidak lama kemudian setelah memberikan adzan ditelinga kanan anak saya aku menitikkan air mata teringat ibuku yang tidak sempat melihat cucunya dan menggendongnya didunia. Tentunya menjadi sebuah kebahagiaan bagi orangtua manapun jika mempunyai cucu dan menggendong untuk pertama kalinya saat bayi merah itu membuka mata didunia. Tetapi itu tidak dirasakan oleh kedua orang tuaku terutama ibuku. Saat itu rasanya ingin sekali ibuku dihadirkan kembali kedunia ini walaupun hanya sehari saja agar aku bisa berbagi kebahagiaan kepadanya, tetapi itu memang tidak mungkin.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline