Lihat ke Halaman Asli

Apriansyah Wijaya

Mahasiswa Program Studi Ilmu Politik di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Pemilu dan Tragedi Kesehatan Petugas KPPS: Perlukah Evaluasi Kebijakan?

Diperbarui: 23 Januari 2024   12:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pentingnya pemilihan umum sebagai pilar utama dalam negara demokratis tidak dapat disangkal. Dalam rangka memastikan pelaksanaan pemilu yang adil dan transparan, Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) memegang peranan krusial. KPPS, yang terbentuk oleh Panitia Pemungutan Suara (PPS) di setiap Tempat Pemungutan Suara (TPS), menjadi garda terdepan penyelenggaraan pemungutan suara yang langsung terlibat dalam proses demokrasi.

Meskipun perannya sangat vital, KPPS kerap dihadapkan pada sejumlah tantangan dan risiko yang dapat mengancam hak-hak mereka. KPPS harus menghadapi tekanan untuk menjalankan tugas mereka secara netral dan adil, tanpa memihak kepada pihak manapun. Selain itu, dalam beberapa kasus, KPPS dapat menjadi sasaran intimidasi atau tekanan dari pihak-pihak yang ingin memanipulasi hasil pemilihan.

Laman resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU), KPPS dibentuk oleh PPS untuk melaksanakan pemungutan suara di TPS. Terdiri dari 7 anggota yang berasal dari masyarakat sekitar TPS, KPPS ditetapkan sesuai dengan peraturan KPU. Satu anggota KPPS merangkap sebagai ketua, dan proses pembentukan harus dilakukan paling lambat 14 hari sebelum hari pemungutan suara.

Dalam kerangka teori partisipasi politik, pembentukan KPPS oleh PPS dapat diinterpretasikan sebagai langkah konkret untuk mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam proses demokratis. Melibatkan wakil-wakil dari masyarakat setempat dalam KPPS menunjukkan semangat inklusif dan partisipatif, di mana keberagaman pandangan dan pengalaman dapat tercermin dalam pelaksanaan pemungutan suara.

Dengan demikian, teori ini menekankan pentingnya keterlibatan langsung warga dalam pengambilan keputusan politik, memperkuat ide bahwa demokrasi sejati melibatkan partisipasi rakyat. KPPS pada akhirnya mencerminkan ide demokrasi representatif di mana warga memilih perwakilan untuk menjalankan tugas-tugas spesifik dalam sistem politik.

Tanggal 16 Mei 2019, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan dengan berat hati bahwa sebanyak 486 petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) telah meninggal dunia, sementara 4.849 lainnya tercatat sakit selama proses pemilu yang berlangsung pada 17 April 2019. Data yang dirilis oleh Kementerian Kesehatan bahkan mencatat angka yang lebih mencengangkan, dengan 527 kematian dan 11.239 kasus sakit yang diinvestigasi di 28 provinsi.

Menurut Komnas HAM, mayoritas kematian petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) disebabkan oleh faktor komorbid atau penyakit penyerta. Fakta ini menunjukkan perlunya perhatian lebih terhadap kesehatan para petugas KPPS sebelum mereka ditetapkan dalam menjalankan tugasnya. Laki-laki berusia 46-67 tahun menjadi korban utama, dan informasi ini memberikan gambaran mengenai rentaninya kelompok usia tertentu terhadap risiko kesehatan yang terkait dengan tugas pemilu.

Data dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menambah dimensi lain, mengungkapkan bahwa penyebab utama bukanlah kelelahan, melainkan penyakit bawaan seperti darah tinggi atau penyakit lainnya yang mungkin tidak mendapatkan pengobatan yang tepat. Hal ini menegaskan pentingnya pemeriksaan kesehatan yang lebih mendalam sebelum menetapkan seseorang sebagai anggota KPPS. Ini bukan hanya masalah pengelolaan kesehatan individu tetapi juga mencerminkan tanggung jawab kolektif untuk melindungi para pelaksana pemilu dari risiko kesehatan yang dapat mengancam nyawa mereka.

Perhatian Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) terhadap faktor kelalaian di balik kematian petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) menyoroti serangkaian masalah yang mendesak untuk diselesaikan dalam konteks pelaksanaan pemilihan umum. Evaluasi terhadap regulasi persyaratan KPPS menjadi sebuah tuntutan yang mendesak guna mencegah terulangnya tragedi serupa di masa depan.

Faktor kelalaian yang ditemukan oleh Komnas HAM merangsang perhatian terhadap beberapa aspek regulasi, termasuk syarat jasmani dan rohani bagi anggota KPPS. Evaluasi yang mendalam terhadap persyaratan ini menjadi langkah esensial dalam memastikan bahwa para pelaksana pemilu memiliki kondisi kesehatan dan ketahanan mental yang memadai untuk menjalankan tugas mereka dengan aman dan efisien.

Ombudsman, dikutip dari detik.com, menilai ada maladministrasi dalam penyelenggaraan pemilu 2019. Hal yang kemudian menambah kompleksitas masalah ini. Dorongan untuk pemerintah meminta maaf kepada pihak korban adalah langkah awal yang dapat membantu memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap integritas penyelenggaraan pemilu. Pemintaan maaf tidak hanya sebagai bentuk tanggung jawab moral tetapi juga mengindikasikan kesediaan untuk mengambil langkah-langkah konkrit menuju perbaikan sistem.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline