Lihat ke Halaman Asli

Santri (1)

Diperbarui: 4 November 2022   20:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

                                                                                             Santri  (1)

Sore ini sendiri lagi, ditemani  hujan yang turun dari langit. Aku terpaksa tidak keluar kamar, tetap terpaku di depan jendela kamar, sendirian. Terlihat banyak anak laki-laki bermain dalam derasnya hujan, dengan benda bulat sebagai pemeran utama. 

Niatnya sih sore ini akan mengaji, namun ketika akan keluar kamar hujan keburu turun, dan sialnya hanya aku sendiri yang tidak ikut mengaji. Aku masih duduk di situ, sembari ingatanku kembali kepada dua hari yang lalu. Membayangkan kejadian yang tidak akan pernah kulupakan.

Dua hari yang lalu aku akan keluar pondok untuk sekedar melepas penat yang selama dua bulan ini semakin membuatku berkeluh kesah. Dan syarat untuk dapat keluar dari pondok adalah harus mempunyai setidaknya surat izin dari pihak keamanan pondok, namun entah mengapa hari itu aku disuruh Pak Salim yang menjabat sebagai lurah pondok untuk menghadap Bu Nyai dahulu agar bisa keluar pondok.

"Sampeankan tau sendiri kang, bahwasanya Bu Nyai baru saja sembuh dari gerahnya, jadi beliau kangen sama santrinya, termasuk sampean. Untuk itu nanti sebelum keluar pondok saya harap sampean dapat sowan ke beliau dahulu..." Begitulah kira-kira percakapan hari itu. Dan akua hanya bilang "enggeh" tanpa banyak tanya.

Jam sembilan lebih sedikit setelah mendapatkan surat izin aku langsung menuju ke ndalem untuk sowan. 

Dengan sarung dan kopiah berwarna gelap serta sandal jepit dan baju koko khas santri yang selalu setia menemaninya,  aku berjalan menyusuri kamar-kamar santri yang sepi, karena hari ini adalah hari Jum'at, yang merupakan hari wajib libur bagi santri. Jadi sangatlah sia-sia menghabiskan hari yang panjang ini dengan berdiam diri dalam kamar, mereka semua keluar bermain di belakang komplek. 

Tidak lebih dari lima menit aku sampai di depan pintu ndalem, dan jantungku semakin berdebar kencang. Namun perilaku ini tetaplah perilaku normal bagi santri yang setiap kali sowan, apalagi kalau yang dihadapi adalah seorang pengasuh Ponpes, pastilah dag dig dug rasanya. Rasa ini timbul kerena adanya bentuk ta'dim para santri yang mengharapkan barokah dari beliau.

            Aku mulai merapikan baju dan sarungku, seandainya masih ada yang kurang sopan dihadapan beliau, tidak lupa juga meluruskan kopiah hitamku. 

            "Assalamualaikum...."

            "Assalamualaikum..." Satu kali, dua kali, tiga kali aku mengucapkannya, namun tidak juga mendapat jawaban dari dalam.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline