Engkau adalah cermin bagiku. Cermin yang selalu aku pakai untuk melihat diriku yang sejati. Bersamamu aku belajar melihat diriku sendiri.
Aku tak mengerti mengapa engkau tak menemukan diriku yang sejati di dalam cermin itu? Sayang, aku tak mau setan menerkam diriku lagi.
Memang kita adalah satu. Karena rasaku adalah rasamu dan rasamu adalah rasaku. Engkau dan aku satu, ikatan rasa yang tak terlihat mata telanjang itu begitu kuat mengikat aku dan engkau dalam ikatan suci.
Sayangku, memang benar dirimu selalu hadir disisiku meski aku harus melewati onak duri, akan aku hadapi agar engkau merasakan kehadiranku di sisimu, menembus ruang dan waktu .
Benar adanya engkau bagai nafas dalam kehidupanku, seandainya engkau tak hadir terasa hampa kehidupan ini.
Sayang, engkau selalu ada dalam kehidupanku, jangan pernah berfikir aku pergi dari sisimu. Ingatlah kita telah berikrar dihadapan Tuhanmu dan Tuhanku? Ikrar kita bagai pakaian bagi diriku yang menghentikan perburuanku.
Di bawah hembusan angin yang menggugurkan daun-daun pepohonan yang berdiri rindang di sepanjang jalanan, tak kuasa aku menatap kedua matamu, yang menatap tajam padaku penuh selidik. Percayalah tak ada yang aku sembunyikan darimu. Seperti engkau tahu luar dan dalam tubuh ini, tak berani mulut ini berdusta padamu karena "Dia" akan memberitahumu.
Aku tahu Tuhan menciptakan seribu bahasa di dunia ini, seandainya hanya satu bahasa itu akan memudahkan aku untuk berbicara denganmu.
****
Seperti dirimu, di atas bangku trotoar ini aku juga duduk seorang diri, menanti kehadiranmu di tempat ini. Seperti janjimu "Untukmu, aku pasti kembali." Aku menanti engkau kembali hadir dihadapanku seperti lima bulan yang lalu.
Sama sepertimu di tempat ini aku merindukan bisikanmu yang mengucapkan mantra cinta. Aku rindu saat itu, disaat tak ada sekat diantara kita, meluahkan bahasa rasa.