Lihat ke Halaman Asli

Apriadi Rama Putra

Lahir di Banda Aceh, 23 April 1998.

Debat Publik: Panggung Teater Politik Untuk Aceh Tenggara

Diperbarui: 13 November 2024   11:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Banner Debat Publik / KIP Aceh Tenggara

Pemilihan kepala daerah seringkali menjadi momen penuh intrik, di mana calon pemimpin berlomba-lomba menampilkan diri sebagai yang terbaik. Begitu pula dengan Kabupaten Aceh Tenggara, yang sebentar lagi akan menyelenggarakan debat publik bagi para calon bupati dan wakil bupati. Namun, di balik hingar-bingar persiapan debat publik ini, ada sebuah pertanyaan yang perlu kita renungkan bersama: apakah debat ini sungguh-sungguh bertujuan untuk menyeleksi pemimpin yang benar-benar memiliki visi, atau sekadar menjadi teater politik demi memukau masyarakat?

Pada 13 November 2024, pukul 20.00 WIB, debat publik akan digelar di Ruang Sidang Utama DPRK Aceh Tenggara. Ini adalah ajang bagi ketiga pasangan calon bupati dan wakil bupati untuk unjuk gigi di hadapan publik, menampilkan gagasan, program, dan mungkin sekadar citra diri. Dari sudut pandang penonton, acara ini mungkin terlihat menarik, seperti menyaksikan laga tanding para gladiator di Colosseum, Roma. Tapi, seberapa banyak di antara kita yang benar-benar akan memahami isi dari debat ini? Seberapa banyak pula yang akan menilai calon pemimpin berdasarkan substansi, bukan sekadar penampilan atau kemampuan bicara?

Dalam sebuah masyarakat yang sudah terbiasa dengan janji-janji politik yang tidak terealisasi, debat publik semacam ini justru kerap kali dipandang sinis. Sebagian masyarakat bahkan merasa bahwa debat hanyalah ajang pamer dan berandai-andai, tanpa tindak lanjut yang nyata. Jika merujuk pada berbagai film politik, seperti "The Ides of March" atau bahkan "House of Cards," kita bisa melihat betapa debat publik sering kali dipenuhi dengan jargon-jargon kosong dan janji palsu.

Di layar, para kandidat akan membeberkan segala hal tentang keberpihakan pada rakyat kecil, keinginan meningkatkan infrastruktur, serta janji-janji yang terdengar merdu. Namun, apakah janji-janji tersebut memiliki dasar dan komitmen yang kuat? Ataukah hanya sekadar rangkaian kata-kata indah untuk menyenangkan telinga para pemilih?

Jika kita mengibaratkan debat publik ini sebagai sebuah festival topeng, maka para calon bupati dan wakil bupati adalah pemain yang mengenakan topeng dengan ekspresi yang berbeda-beda. Di depan kamera, mereka tersenyum ramah dan berjanji membangun masyarakat yang lebih baik. Namun, ketika topeng tersebut dilepas, ada kemungkinan bahwa wajah asli mereka tak seindah yang kita bayangkan.

Dalam sejarah Indonesia sendiri, sering kali debat publik justru memunculkan sisi "pemain sandiwara" dari para kandidat. Hal ini pernah terjadi pada pemilu-pemilu sebelumnya, di mana para kandidat hanya terlihat berbicara panjang lebar tanpa isi yang berarti. Jadi, apakah masyarakat Aceh Tenggara siap dengan risiko memilih pemimpin berdasarkan "topeng" yang dipakai saat debat ini?

Dalam setiap debat, terdapat tim sukses yang siap membisikkan jawaban, menyusun narasi, dan mengatur setiap kata yang akan diucapkan. Seakan-akan, debat ini adalah sebuah naskah drama yang sudah disiapkan sedemikian rupa agar penonton terkesan. Ada pengarah gaya, ada tim pencitraan, dan tentu saja ada tim yang bertugas "menjaga image." Di sisi lain, masyarakat hanya memiliki sedikit kesempatan untuk melihat siapa mereka sebenarnya.

Dalam buku "Propaganda" karya Edward Bernays, ada konsep bahwa seorang pemimpin politik tidak hanya harus pandai berbicara, tetapi juga harus pandai mempengaruhi cara pandang publik. Dan debat publik ini, seperti ajang debat lainnya, mungkin akan lebih berfokus pada bagaimana seorang calon tampil secara visual dan berbicara dengan baik, daripada menilai substansi argumen mereka. Apakah kita ingin memilih pemimpin yang hanya pandai berbicara, atau yang benar-benar bisa mewujudkan perkataannya?

Debat publik semestinya menjadi ajang untuk menilai gagasan dan ide yang diusung oleh setiap calon. Namun, sering kali, debat ini malah berubah menjadi saling sindir dan adu kritik tanpa solusi. Sehingga, bukannya memperkaya gagasan yang ada, debat justru membuat ide-ide menjadi berputar-putar tanpa arah.

Jika kita melihat ke sejarah bangsa, misalnya pada masa pergerakan nasional, para tokoh kemerdekaan seperti Bung Hatta dan Bung Karno berdebat bukan untuk sekadar memuaskan ego mereka, melainkan untuk merumuskan jalan terbaik bagi bangsa. Sedangkan, di era modern ini, debat publik calon kepala daerah sering kali justru menjadi ajang unjuk gigi semata. Bukannya menawarkan solusi konkret, debat lebih banyak diwarnai oleh sindiran-sindiran halus atau bahkan langsung yang kerap tidak relevan.

Sebenarnya, masyarakat bisa berharap lebih dari sekadar pertunjukan debat seperti ini. Alih-alih menjadi ajang pamer, seharusnya debat publik dimanfaatkan untuk menggali visi, misi, dan rencana nyata para kandidat. Masyarakat perlu bersikap kritis, bukan hanya terpana dengan janji atau retorika yang terkesan hebat di atas panggung. Pertanyaan-pertanyaan sulit perlu diajukan untuk melihat sejauh mana kandidat memahami permasalahan daerah dan memiliki solusi yang logis.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline