Lihat ke Halaman Asli

Apriadi Rama Putra

Lahir di Banda Aceh, 23 April 1998.

Tahat Ate (Tak Enak Hati) dan Matinya Pengawasan di Aceh Tenggara

Diperbarui: 2 Mei 2024   19:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Koleksi Photo Pribadi Apriadi Rama Putra

Aceh Tenggara, adalah daerah yang penuh dengan suku adat istiadat dan budaya yang kaya, namun terhimpit oleh realitas yang kelam: tidak enak hati (tahat ate) dan matinya pengawasan. Narasi ini mengangkat tentang keadaan yang menyedihkan namun tak terbantahkan tentang penyalahgunaan kekuasaan yang nyaris merajalela di hampir semua lini instansi, mencoreng citra sebuah pemerintahan yang seharusnya menjadi pelindung dan pelayan masyarakat.

Permasalahan mendasar yang menghantui Aceh Tenggara adalah adanya kultur tidak enak hati atau tahat ate. Fenomena ini telah menjadi akar dari berbagai bentuk penyimpangan dan penyalahgunaan kekuasaan yang terjadi di berbagai level pemerintahan. Tahat ate, yang pada dasarnya merupakan budaya memuliakan atasan atau orang yang lebih tua, dan saling menghormati antara sesama seharusnya menjadi nilai positif dalam sebuah masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai adat dan tradisi. Namun, dalam konteks politik dan pemerintahan, tahat ate seringkali disalahgunakan untuk membenarkan tindakan tindakan yang salah.

Hal yang lebih memprihatinkan adalah lemahnya pengawasan terhadap tindakan-tindakan yang melanggar aturan dan merugikan masyarakat. Pengawasan yang lemah ini tidak hanya disebabkan oleh budaya tahat ate, tetapi juga oleh ketidakmampuan sistem pengawasan yang ada untuk menindak tegas para pelanggar. Salah satu penyebab utama lemahnya pengawasan adalah penempatan orang-orang yang tidak pantas atau tidak memiliki kapasitas yang memadai dalam posisi-posisi kunci yang seharusnya bertanggung jawab atas pengawasan.

Manipulasi atas adat istiadat juga menjadi salah satu permasalahan yang memperparah kondisi di Aceh Tenggara. Budaya yang seharusnya menjadi warisan berharga bagi generasi mendatang, malah disalahgunakan untuk kepentingan kelompok tertentu. Adat istiadat yang seharusnya menjadi penjaga moralitas dan keadilan, kini digunakan sebagai alat untuk membenarkan tindakan-tindakan yang melanggar hukum dan merugikan masyarakat.

Penting untuk diingat bahwa politik adalah alat untuk melayani masyarakat, bukan sebaliknya. Tidak boleh ada pembenaran atas tindakan-tindakan yang merugikan masyarakat hanya demi kepentingan politik sesaat. Adat istiadat haruslah dijaga dan dilestarikan, tetapi bukan untuk kepentingan sempit kelompok tertentu. Politik yang sehat adalah politik yang berpihak pada kebenaran dan keadilan, bukan pada kepentingan segelintir orang.

Mengatasi permasalahan ini bukanlah hal yang mudah, namun bukan berarti tidak mungkin dilakukan. Langkah pertama yang harus diambil adalah memperkuat pengawasan terhadap kekuasaan, baik melalui penguatan lembaga-lembaga pengawasan yang ada maupun melalui partisipasi aktif masyarakat dalam mengawasi pemerintahan. Hal ini memerlukan komitmen yang kuat dari semua pihak untuk menegakkan supremasi hukum dan memastikan bahwa tidak ada yang berada di atas hukum.

Selain itu, penting juga untuk melakukan reformasi dalam penempatan pejabat-pejabat publik. Pejabat-pejabat yang ditunjuk haruslah orang-orang yang memiliki integritas, kompetensi, dan dedikasi untuk melayani masyarakat dengan sebaik-baiknya. Penempatan pejabat berdasarkan pada kualifikasi dan prestasi, bukan atas dasar hubungan atau kedekatan dengan penguasa saat ini.

Adat istiadat juga perlu dikembalikan pada fungsi aslinya sebagai penjaga moralitas dan keadilan. Hal ini memerlukan kerja sama antara pemerintah, masyarakat, dan pemangku adat untuk menjaga keaslian dan keutuhan budaya Aceh Tenggara. Adat istiadat yang dijalankan dengan benar dan proporsional akan menjadi pilar utama dalam menjaga stabilitas sosial dan keharmonisan masyarakat.

Dalam upaya memperkuat pengawasan terhadap kekuasaan, kita juga perlu memperkuat semangat juang pengawasan melalui penegakan nilai-nilai adat yang berlandaskan pada kejujuran, keadilan, dan kebenaran. Masyarakat Aceh Tenggara harus diberdayakan untuk menjadi agen perubahan yang mampu mengawasi pemerintahan dan menuntut pertanggungjawaban atas tindakan-tindakan yang merugikan masyarakat.

Aceh Tenggara memiliki potensi yang besar untuk menjadi daerah yang maju dan sejahtera jika semua pihak dapat bekerja sama untuk mengatasi permasalahan yang ada. Dengan memperkuat pengawasan terhadap kekuasaan, membenahi penempatan pejabat publik, dan mengembalikan fungsi adat istiadat sebagai penjaga moralitas dan keadilan, Aceh Tenggara akan mampu menghadapi tantangan-tantangan di masa depan dan menciptakan masa depan yang lebih baik bagi generasi mendatang.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline