Lihat ke Halaman Asli

Apriadi Rama Putra

Lahir di Banda Aceh, 23 April 1998.

Sampai Kapan Korupsi dan Pungli Dibiarkan Begitu Saja di Aceh Tenggara?

Diperbarui: 2 Mei 2024   16:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Koleksi Photo Pribadi Apriadi Rama Putra

Dalam warung-warung kopi saat ini, tidak hanya aroma kopi yang menyegarkan yang menyambut pengunjung, tetapi juga humor-humor pahit yang menghiasi percakapan. Salah satu isu yang menjadi perbincangan adalah pengrekrutan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) untuk pilkada serentak 2024 di Aceh Tenggara. Kabarnya, kursi di PPK dihargai dengan nominal mencapai angka 8 juta rupiah per orang. Dengan demikian, setiap kecamatan di Aceh Tenggara akan memiliki 5 orang anggota PPK yang akan lulus. Jika dihitung, jumlah keseluruhan anggota PPK yang akan lulus mencapai 80 orang, dan dengan harga kursi 8 juta per orang, anggota Komisi Independen Pemilu (KIP) Aceh Tenggara diproyeksikan meraup keuntungan sebesar 640.000.000 Juta rupiah.

Angka tersebut bukanlah angka yang bisa diabaikan begitu saja. Sebagai gambaran, bagi masyarakat kebanyakan, jumlah tersebut bisa digunakan untuk berbagai keperluan penting dalam kehidupan sehari-hari. Namun, ternyata keuntungan tersebut masih belum cukup memuaskan. Kabarnya, setelah pengrekrutan PPK, giliran Panitia Penggutan Suara (PPS) yang akan direkrut dengan harga 3 juta rupiah per orang. Dengan jumlah desa mencapai 368, Komisioner KIP Aceh Tenggara diproyeksikan meraup keuntungan tambahan yang mencapai jumlah fantastis pula.

Melihat angka-angka tersebut, terbayang betapa besar potensi keuntungan yang bisa didapatkan oleh mereka yang duduk di posisi strategis tersebut. Namun, di balik angka-angka yang memikat tersebut, terselip getaran yang menyayat hati. Bagaimana dengan orang-orang yang sebenarnya memiliki niat dan kualifikasi untuk ikut serta dalam proses demokrasi ini? Mereka yang sungguh-sungguh ingin berkontribusi untuk kemajuan daerah, namun terhalang oleh keterbatasan finansial dan jaringan politik yang lemah.

Kita harus bertanya pada diri sendiri, sampai kapan lingkaran korupsi ini akan terus berputar? Di sebuah kabupaten kecil yang kita cintai, praktik-praktik yang tidak etis ini seolah sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Sangat disayangkan jika orang-orang yang berpotensi dan berkompeten harus terpinggirkan hanya karena tidak memiliki akses pada jaringan politik yang kuat atau cukup uang untuk membayar kursi di meja kekuasaan.

Mungkin saatnya kita mempertanyakan peran Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Apakah mereka benar-benar netral dan tulus dalam menjalankan tugasnya? Ataukah mereka juga terjebak dalam lingkaran kepentingan yang sama? Pertanyaan ini penting untuk dipertimbangkan jika kita ingin melihat perubahan yang nyata dalam proses demokrasi kita.

Tidak hanya DKPP, tetapi juga Aparat Penegak Hukum memiliki peran yang sangat penting dalam mengawasi jalannya proses demokrasi ini. Mereka harus bersikap netral dan tidak terpengaruh oleh kepentingan politik atau finansial. Karena jika mereka gagal menjalankan tugasnya dengan baik, maka nama mereka pun akan tercoreng sebagai bagian dari sistem yang korup.

Kita juga tidak boleh melupakan peran Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas pengawasan keuangan negara, mereka memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa anggaran negara digunakan dengan tepat dan efisien. Jika terdapat indikasi praktik-praktik korupsi dalam penggunaan dana pemilu, maka mereka harus segera bertindak untuk mengusutnya dan menindak pelakunya.

Kita sebagai masyarakat juga memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga integritas proses demokrasi. Kita harus lebih aktif dalam mengawasi dan melaporkan segala bentuk pelanggaran yang terjadi. Kita kita boleh diam saat melihat kecurangan atau ketidakadilan terjadi di depan mata kita. Kita harus bersama-sama memerangi praktik-praktik korupsi ini, demi masa depan yang lebih baik bagi generasi mendatang.

Pilkada serentak 2024 harus menjadi momentum bagi kita semua untuk mengakhiri lingkaran setan korupsi ini. Kita harus membuktikan bahwa kita sebagai masyarakat memiliki kekuatan untuk mengubah nasib daerah kita. Kita harus bersatu untuk memberantas pungli dan korupsi, sehingga kita dapat membangun sebuah kabupaten yang lebih baik dan lebih adil untuk seluruh lapisan masyarakat. Ayo, mari bersama-sama menjaga integritas proses demokrasi dan membawa perubahan yang nyata bagi bumi sepakat segenep, Tanoh Alas Metuah yang kita cintai ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline