Lihat ke Halaman Asli

Apriadi Rama Putra

Lahir di Banda Aceh, 23 April 1998.

Potensi Kecurangan Pemilu di Aceh Tenggara

Diperbarui: 12 Februari 2024   05:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Oleh : Apriadi Rama Putra
Praktisi Sekolah Kita Menulis (SKM) Cabang Aceh Tenggara

Pemilu merupakan pilar utama dalam menjaga stabilitas demokrasi sebuah negara. Namun, di balik proses demokratis tersebut, terselip berbagai tantangan, terutama terkait potensi kecurangan yang dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Di Pemilu 14 Februari 2024 mendatang, Kabupaten Aceh Tenggara menjadi salah satu daerah yang dihadapkan dengan tantangan besar terkait antisipasi suara tidak bertuan.

Salah satu modus kecurangan yang kerap dilakukan adalah memanfaatkan kelemahan dalam sistem administrasi kependudukan. Suara-suara yang seharusnya tidak sah, seperti suara dari warga yang telah meninggal dunia namun belum terdaftar di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil), berpotensi dimanfaatkan kembali untuk kepentingan politik tertentu. Tidak hanya itu, suara-suara yang tidak terdengar, misalnya dari warga yang pindah atau menempuh pendidikan di luar daerah atau negeri, juga rentan dimanipulasi. Belum lagi soal intervensi penyelenggara pemilu yang terjebak politik balas jasa dengan segerombolan politisi yang sedang mengadu nasib di panggung kekuasaan.

Untuk menghadapi tantangan sedemikian, solusi konkret perlu diimplementasikan. Peran aktif dari generasi muda dan insan pers dalam mengawasi proses pemilu menjadi sangat penting. Poros ini dapat menjadi mata dan telinga yang waspada terhadap setiap indikasi kecurangan, serta melaporkannya kepada pihak yang berwenang. Selain itu, penguatan lembaga pengawas pemilu seperti Komisi Independen Pemilihan (KIP) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Aceh Tenggara adalah langkah yang krusial.

Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa tantangan ini juga berkaitan erat dengan isu korupsi. Praktik pembiayaan kampanye yang tidak transparan seringkali menjadi pintu masuk bagi oknum-oknum yang ingin memanipulasi hasil pemilu. Oleh karena itu, penting bagi lembaga-lembaga pengawas pemilu untuk menjalankan tugasnya dengan independen dan adil, tanpa terpengaruh oleh kepentingan politik maupun finansial dari politisi kaya manapun.

Mengakhiri lingkaran setan kecurangan dalam pemilu memang tidak mudah, terutama di tengah budaya politik yang masih rentan terhadap praktik-praktik tidak sehat. Namun, dengan langkah-langkah konkret dan kerja sama antara berbagai pihak, diharapkan integritas dan keadilan dalam proses pemilihan dapat tetap terjaga, sehingga suara rakyat benar-benar menjadi cerminan dari kehendak dan kepentingan mereka.

Pemilu, sebuah momen yang seharusnya menjadi tonggak penting dalam perjalanan demokrasi, terkadang terasa semakin jauh dari makna esensialnya. Identik dengan demokrasi, namun kebebasan yang seharusnya menjadi inti dari demokrasi telah dirampas, dan ajang pemilu pun kerap dijadikan sebagai ladang bisnis bagi oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Ironisnya, rencana-rencana jahat itu tersusun dengan matang, mempermainkan banyak hak dan kepentingan rakyat.

Di balik panggung politik yang gemerlap, banyak kisah tragis terjadi. Banyak yang rela berubah dari kawan menjadi lawan, tergiur oleh uang dan kepentingan pribadi. Pepatah bijak "jangan karena uang sedikit kita malu menunjukkan wajah kita di depan orang banyak" tampaknya semakin tergeser oleh realitas bahwa uang, sekecil apapun nilainya, menjadi sangat berharga bagi banyak orang. Di tengah kesenjangan ekonomi yang semakin melebar, kepentingan rakyat seringkali diabaikan dan ditempatkan di nomor sekian.

Namun, di tengah semua itu, masih ada hati-hati yang murni dan teguh dalam menegakkan keadilan. Mereka terjebak dalam dilema, di mana kesalahan yang dibiasakan menjadi pembenaran. Misalnya, dalam isu golput atau memilih lebih dari satu calon pada surat suara. Di tengah kompleksitas ini, kita seringkali bingung di mana kita seharusnya berada.

Terlihat seolah-olah kita telah dibentuk untuk patuh dan tunduk pada sistem yang membenarkan segala bentuk kecurangan dan manipulasi. Bahkan, ada yang berani mengatakan bahwa Alquran dan hadis tidak dapat dijadikan pedoman dalam praktek pemilu. Namun, di balik semua kekacauan dan ketidakpastian, masih ada harapan bahwa kejujuran dan integritas akan menemukan jalan untuk bersinar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline