Lihat ke Halaman Asli

Mina Apratima Nour

:: Pluviophile & Petrichor ::

Puisi | Bentang Bumi Selatan

Diperbarui: 8 April 2020   18:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(image: Kids.ru via Pinterest)

Pada bumi selatan, Ar, jelma aurora lebih megah dari sandikala pukul lima. Elok berlenggang di bumantara. Membuat penyair mati seribu kata. Sedang padamu, aku temukan sedikit binarnya: kerlip genit yang membuatku tak ingin pamit.

Kau lukis megahnya di bentang dadaku. Tak ada madah sendu, tak ada urai syahdu. Hanya gurat pancarona mengelok serupa rindu. Membuat malam benderang. Menuntunku merapal fasih sebuah tunggu.

Ar, kutub waktu menjuntai aksara. Tapi tak ada yang mengalahkan risau, habis ia menikam atma. Sebait malam telah usai, kala jemari selesai menungkupkan secuplik doa. Ialah engkau, tempat pulang seluruh rasa. Tabah kumaknai detik meski pelik. Rindu ini telah sampai pada puncak. Aku tak berkutik.

Di bawah bentang bumi selatan, Ar. Dinginnya menusuk tulang. Menanti raba pada raga. Hangatkan aku dengan seluruh canda pun tawa. Pada paras wajahmu, niskala duka semasa purba. Tunggu aku, Ar. Kelak, kupetik indah setangkai saga. Yang belum jua purna. Kokoh didera selaksa nelangsa.

Tunggu aku, Ar...

- Jakarta, 06 April 2020 -

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline