Februari tak pernah sedingin ini. Lumbung langit bersorak menumpahkan serimbun doa dari tawang. Membiarkan mayapada basah oleh selaksa cerita. Dari para pencinta pun pendosa. Mengalir menuju samudera. Memaksa karam seluruh cerita yang tak direstui-Nya.
Malam ini atma menyuarakan dura, Renjana. Terlanjur jalang diri bergelimang dalam pekat gelita. Menyesap habis dosa-dosa buana. Menziarahi setubuh engkau tanpa sisa. Bergelinjang dipinang cinta, kau bilang itu semara. Tanpa kutahu, nyatanya hanya gelora semata. Puas, Renjana? Aku menjelma pandir dalam permainan takdir. Sungguh kau maha mahir membuat getir.
Lintasan kala takkan kembali sifar. Tapak membekas sepanjang jalur ingatan. Menapak kenang pada senggama masa silam. Aku dan kau, Renjana, tak pernah jadi sederhana. Serupa gempita riuh kembang api, lalu seketika padam. Sebatas gelagar katastrofe, lalu sekejap tenang.
Mungkin kita tercipta saat Tuhan sedang ingin bercanda....
Ah, betapa jenaka.
- Jakarta, 02 Februari 2020 -
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H