Aku duduk di hadapanmu melukis pelangi. Warna warni serupa kumpulan bunga bunga musim semi. Hari ini senyummu lebih pagi dari sepucuk mentari. Tanpa sadar, kita tertawa sebelum ditertawakan takdir yang sembunyi sembunyi. Menjadikan aku dan kamu kelakar di antara penghuni langit pun bumi.....
Sebelum pergi, tersaji dua cangkir teh di meja. Ku dengar mereka berbisik kenapa kita tak segera bersama. Seketika pelangi ku tambahkan warna hitam dan abu abu. Agar bersiap jika bukan hujan tapi badai yang menderu. Cukup di hatimu, aku senang lalu lalang dan tak kembali pulang. Bukan salahmu! Aku yang kau buat betah, dan ingin tinggal.
---
Di akhir September daun daun merona jingga. Indah berguguran mempesona. Ringkih ranting ranting tua, mengecup perpisahan dari atas pepohonan yang malang. Adakah yang lebih getir dari itu? Kita yang lahir dari rahim puisi puisi resah. Mencoba rapikan ingatan tentang rasa yang tak pernah punah.
Sederhananya, kau ku kirimi kata kata penggugah. Bentuk waras dari keberanian yang kupupuk sejak jauh jauh hari sebelum singgah. Lalu kau hujam aku dengan kecup dan pelukan. Meniskalakan segala luka, kisah kita tertanam di bentala. Abadi hingga laung sangkakala penutup masa.
.
.
.
Tuan, pelangiku tak muncul saat hujan reda. Ia selalu ada. Tepat di antara kedua lengkung alismu, menghias teduh sorot mata itu. Tempat aku menenggelamkan diri, bersama kisah yang tak sanggup kau akhiri.....
- Jakarta, 11 Oktober 2018 -
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H