Seperti inilah seharusnya hujan. Menawarkan rindu yang sejuk. Rindu yang memiliki rumah. Rindu yang tersungkur di lenganmu. "Seperti inilah seharusnya hujan", aku bergumam. Sedang engkau tak berpulang. Ah, hujan yang seperti itu cuma mimpi ternyata.
--
Memeluk ingin di udara yang dingin, aku pastikan hati tabah memupuk cinta yang gundah. Karena menunggumu tak lagi tentang waktu. Tapi tentang takdir. Seberapa jauh kata kata terus mengalir, mengamini cinta yang sudah di titik nadir. Kau kah yang akhirnya datang? Meminang kedua mata ini mengakhiri musim penghujan. Menghentikan tetesan air yang jatuh berkali kali, demi sebuah pertemuan yang entah kapan.
--
Musuhku adalah ingatan. Selalu memutar kenangan yang kau bilang lupakan. Punggungmu ku jadikan sandar. Sedang tubuhku bak padang ilalang. Tempat peristiwa usang bersemayam. Jauh dari puas dan tenang. Sandarku hilangkan kekalutan. Tanpa sadar, engkau mulai memudar.
--
Akhirnya mencintaimu adalah perpaduan antara takdir dan doa. Bukan tentang jejak, apalagi jarak. Mencintaimu adalah keyakinanku. Bahwa kau ada, meski tak tampak.
- Jakarta, 07 Mei 2017 -
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H