Lihat ke Halaman Asli

Pendidikan ala Bank

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pendidikan ala bank dimana para guru pada semua tingkatan baik didalam sekolah maupun diluar sekolah, mengungkapkan watak bercerita, yang mendasar didalamnya. Hubungan ini mekibatkan subyek yang bercerita (guru) dan obyek yang patuh dan mendengarkan (murid).

Guru membicarakan suatu reaalitas seolah-olah tidak bergerak, statis, tidak terpisah satu sama lain, dan dapat diramalkan. Atau ia mengurai suatu topic yang sama sekali asing bagi pengalaman eksistensial para murid. Tugasnya hanya adalah mengisipara muriddengan bahan-bahan yang dituturkan nya, bahan-bahan yang terlepas realitas dan terpisah dari totalitas yang melahirkannya dan dapat memberinya arti.

Ciri yang sangat menonjol dari pendidikan ini adalah kemerduan kata bukan kata pengubahnya “empat kali empat sama dengan enam belas” para murid mencatat, menghafal dan mengulangi setiap kata yang diugkapkan tanpa memikirkan arti yang sebenarnya. Pendidikan berceritamengarahkan murid-murid untuk menghafal secara mekanis apa isi pelajaran yang dihafalkan. Lebih buruk lagi , muris diubahnya menjadi “bejana-bejana”, wadah-wadah kosong untuk diisi oleh para guru, semakin banyak wadah yang diisi oleh para guru maka semakin baik pula seorang guru tersebut.

Pendidikan dijadikan sebuah kegiatan menabung dimana murid sebagai celengan dan guru sebagai penabung. Yang terjadi bukanlah proses komunikasi tetapi guru menyampaikan pernyataan pernyataan dan “mengisi tabungan” yang diterima dihafal dan dipatuhi oleh para murid. Ini lah konsep “pendidikan ala bank” dimana ruang gerak para murid terbataspada menerima, mencatat dan menyimpan.

Dalam konsep pendidikan ala bank, pengetahuan merupakan sebuah anugerah yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap dirinya berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak berpengetahuan apa-apa. Mengangap bodoh secara mutlak orang lain, sebuah cirri ideology penindasan, berrti mengingkari pendidiakn dan pengetahuan sebagia proses pencarian.

Cara membebaskan konsep pendidikan ala bank adalah dengan menerapkan pendidikan yang membebaskan “RAISON D’ETRE” yakni terletak pada arah rekonsiliasi. Pendidikan harus dimulai dengan pemecahan masalah kontradiksi guru dan murid tersebut. Tetapi pemecahan demikian tidak akan mungkin dijumpai dalam konsep pendidikan ala bank, bahkan untuk mempertajam kontradiksi melalui cara-cara dan kebiasaan berikut, yang mencerminkan suatu keadaan masyarakat yang tertindas


  • Guru mengajar, murid diajar

  • Guru mengetahui segala sesuatu, murid tidak mengetahui apa-apa

  • Guru berpikir, murid dipikirkan

  • Guru bercerita, murid patuh mendengarkan

  • Guru menetukan aturan, murid diatur

  • Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menyetujui

  • Guru berbuat, murid membayangkan apa yang dibuat melalui perbuatan gurunya

  • Guru memilih bahan dan isi pelajaran, murid (tanpa diminta pendapatnya) menyesuaikan diri dengan pelajaran itu

  • Guru mencampuradukkan kewenangan ilmu pengetahuan dan kewenangan jabatannya, yang ia lakukan untuk menghalangi kebebasan murid

  • Guru adalah subyek dalam proses belajar, murid adalah obyek belaka

Tidaklah mengherankan jika konsep pendidikan gayabank memandang manusia sebagai makhluk yang dapat disamakan dengan sebuah benda dan gampang diatur. Demakin banyak murid yang menyimpan tabungan semakin kurang mengembangkan kesadaaran kritisyang dapat mereka peroleh dari keterlibatan di dunia sebagai pengubah dunia tersebut.

Kemampuan pendidiakn gaya bank mengurangi daya kreasi para murid serta menumbuhkan sikap kurang percaya, menguntungkan kaum penindas yang tidak berkepentingan dengan dunia yang terkuak atau yang berubah. Kaum penindas memamfaatkan “humanitarianisme” mereka untuk melindungi konsep “gaya bank”. Olehn karena itu secara naluriah mereka sangat menentang setiap usaha percobaan dalam bidang pendidikan yang akan merangsang kemampuan kritis dan tidak puas dengan pandangan berat sebelah.

Sesungguhnya, kepentinagan kaum penindas adalah “mengubah kesadaran kaum tertindas, bukan situasi yang menindas mereka”

Permasalahan utama adalah bagaimanakaum yang tertindas yang terbelah membebaskan diri dan tidak otentik. Kebebasan adalah ibarat kelahiran bayi yang menimbulkan rasa sakit. Manusia yang tampil adalah manusia yang baru, yang hanya dapat hidup terus jikak kontradiksi penindan dan tertindas telah digantikan dengan humanisasi ssegenap umat manusia. Dengan kata lain pemecahan permasalahan seperti ini harus dilalui rasa sakit beranak yang mengantarkan manusia baru tadike dunia bukan untu menjadi penindasatau tertindas. Akan tetapi manusia dalam proses mencapai kebebasan. Pemecahan seperti ini tidak dapat dicapai dengan janji idealistic. Agar kaum tertindas dapat melakukan perjuangan untuk kebebasanya, mereka harus memahami realitas penindasan, tidak sebagai suatu dunia yang tertutup dimana tidak ada ointu keluar. Kontradiksi antara penindas dengan tertindas memeang terjdi secara konkrit, maka penyelesaiaan secara kontradiksi ini haruslah dapat diuji kebenaran secara obyektif. Dengan mengajukantuntutan radikal untuk mengubah secara obyektif realitas tersebut, dan dengan memerangi kelambanan kaum subyektifis yang akan mengalihkan perhatian terhadap penindasan.

Dalam pemikiran dialektis, dunia dan tindakan adalah dua hal yang saling terkait satu sama lain. Tetapi tindakan hanya manusiawijika ia bukan semata-mata bukan karena pekerjaan rutin tetapi juga suatu perenunganyang mendalam, yakni bila ia tidak dibedakan secara dikotonomis dari refleksi . Refleksi yang mendasari tindakan, secara tersirat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline