Dua tahun sudah kita hidup dalam situasi pandemi yang seolah belum ketemu titik ujung maupun pangkalnya. Ketertarikan saya menulis tentang vaksin, Ge Nose, ivermectin dan budaya mem-bully ini muncul bersamaan dengan ketertarikan saya mengikuti dinamika produk keilmuan dari negara kita yang sepertinya selalu mendapat perundungan dari masa ke masa, dari jaman pesawat terbang, mobil nasional, vaksin, Ge-Nose, sampai yang terakhir saya jumpai adalah soal ivermectin. Produk yang sementara ini sedang dikembangkan oleh Indofarma sebagai salah satu BUMN farmasi terkemuka di Indonesia.
Ivermectin mulai muncul dari riset ilmuwan dari australia yang menyatakan bahwa secara in vitro mampu menurunkan jumlah virus corona secara signifikan. Faktanya, ivermectin yang "hanya" obat cacing dan kutu ini pada beberapa penelitian skala laboratorium mampu menunjukkan efektifitasnya terhadap beberapa virus seperti influenza, cikungunya maupun zika.
WHO sendiri hingga kini belum menyatakan efektifitas ivermectin sebagai obat untuk Covid-19, WHO menyatakan bahwa efektifitas ivermectin untuk obat Covid belum dapat disimpulkan, namun WHO mengijinkannya untuk diteliti atau digunakan dalam uji klinis. Sampai disini clear, ivermectin sampai saat sekarang bukanlah obat Covid, sampai diketemukan bukti baru yang valid dan memadai.
Namun demikian, dengan WHO mengijinkan penelitian uji klinis terhadap obat ini, dan juga banyaknya negara lain yang meneliti efektifitas ivermectin pada pengobatan Covid ini, tentu bukan karena sebuah lelucon untuk di-bully melainkan ada sebuah bukti awal yang dianggap mencukupi atas penelitian terhadap ivermectin ini.
Saya mencoba melihat kembali pada jejak pengembangan vaksin merah putih, lalu vaksin nusantara. Sejenak saya mengecualikan permasalahan dan bias-bias yang ada di dalam pengembangannya meskipun pemberitaannya masif sekali.
Kesimpulan sementara saya, hampir semua produk yang diinisiasi oleh anak bangsa Indonesia akan mendapatkan opini-opini yang kontra produktif bahkan menjurus pada perundungan, entah itu dianggap sebagai produk kelas dua, memberi hasil palsu, tidak sesuai prosedur ilmiah, tidak tersedia cukup bukti, dan sebagainya.
Bahkan, jaman dulu ketika BJ Habibie menerbangkan pesawat buatan Indonesia untuk pertama kalinya, guyonannya pada waktu itu : kalo pesawat buatan Indonesia nggak usah ditembak, diemin aja nanti jatuh sendiri.
Setali tiga uang dengan ivermectin, beramai-ramai semua institusi terkait mempertegas bantahan ivermectin sebagai obat covid. Tidak banyak yang secara adem memberikan support (misalnya) bahwa Indonesia tengah melakukan riset yang memungkinkan pengembangan obat ini sebagai obat untuk covid-19. Meskipun demikian, jika itu tujuannya mengedukasi masyarakat untuk tidak ngawur dalam menggunakan obat sebelum ada bukti klinis, menurut hemat saya sah-sah saja dan baik untuk kepentingan masyarakat. Namun seharusnya edukasi-edukasi semacam itu bisa dilakukan dengan menggunakan narasi-narasi yang positif.
Di sektor farmasi, Indonesia merupakan negara yang sudah mampu memenuhi kebutuhan obat untuk dalam negeri, bahkan mampu untuk mengekspor. Namun ironisnya Indonesia sebagai negara tropis semestinya memiliki sumber daya alam dan kekayaan hayati yang melimpah ruah, masih mengalami ketergantungan terhadap bahan baku obat.
Jangankan di tingkatan zat aktif, bahkan di level zat pengisi dan penghancur pada sediaan tablet pun kita masih bergantung pada impor. Padahal jika dipikir-pikir, yang namanya ketela, ubi jalar, pisang itu pemandangan sehari-hari masyarakat kita secara kebanyakan. Namun faktanya kita masih impor amilum untuk pembuatan tablet. Entah karena teknologi yang belum meungkinkan atau ilmu pengetahuan kita yang belum sampai kesana, namun faktanya demikian.
Sama seperti obat herbal, sebut saja merk misalnya Antangin atau Tolak Angin. Jika dikaitkan secara langsung sebagai obat covid mungkin tidak akan ketemu bukti klinisnya. Namun jika diteliti bagaimana efektifitas jahe dalam mengurangi gejala penyakit infeksi saluran pernapasan, akan bisa dengan mudah kita temukan di berbagai jurnal. Sama halnya dengan penggunaan zink, vitamin C atau vitamin D, mereka itu juga bukan kelompok obat covid.