Lihat ke Halaman Asli

Sutrisno

Apoteker Public Health

Quo Vadis Pengelolaan Obat-obatan di Puskesmas

Diperbarui: 7 Maret 2017   22:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Gambar : http://majalah.stfi.ac.id

Selayang Pandang Pekerjaan Kefarmasian

Sebagai pengantar, terlebih dahulu harus kita sepakati bahwa pengelolaan obat merupakan bagian dari pekerjaan kefarmasian. Bukan sebaliknya pekerjaan kefarmasian merupakan bagian dari pengelolaan obat. Keduanya merupakan sebuah proses yang tidak terpisahkan pada sarana pelayanan kesehatan. Merunut pada amanat PP dalam hal ini PP No. 51/2009 dinyatakan bahwa Pekerjaan Kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu Sediaan Farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluranan obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat  tradisional.

 Sedangkan Tenaga Kefarmasian adalah tenaga yang melakukan Pekerjaan Kefarmasian, yang terdiri atas Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian/Asisten Apoteker (untuk selanjutnya disebut TTK). Pernyataan yang sama tentang tenaga kesehatan dapat kita lihat pada UU No. 36/2014 tentang Tenaga Kesehatan.

                Dalam sistem ketenagaan yang ada pada instansi pemerintah, jabatan TTK masuk dalam rumpun jabatan fungsional tertentu (JFT). Jika kita lihat dari sudut pandang perbedaan tugas pokok dan fungsi dengan jabatan fungsional umum (JFU) tentu sangat berbeda, spesifikasi (kekhasan) pekerjaannya, metode kenaikan pangkatnya, sangat berbeda.

                Dalam pengelolaan obat di puskesmas (baca:pengelolaan obat), pada umumnya SDM yang tersedia adalah Apoteker (hampir semuanya didominasi oleh tenaga BLU), Tenaga Teknis Kefarmasian (hamper semuanya PNS) dan juga tenaga pengadministrasi obat. Kegiatan administrasi dan kegiatan pelayanan (dalam hal ini kembali penulis sebut pekerjaan kefarmasian) menjadi dua proses yang tidak terpisahkan bagi tenaga kefarmasian, melainkan dapat dipisahkan bagi tenaga pengadministrasi obat. Tugas tenaga pengadministrasi obat selama ini terbatas pada pelayanan-pelayanan dan aktifitas tertentu yang secara definitive penulis belum pernah menemukannya, misalnya : hal-hal apa yang secara definitif boleh dan tidak boleh dilakukan oleh seorang tenaga pengadministrasi obat yang dalam hal ini masuk dalam rumpun JFU. Pokoknya ya membantu.

Pelayanan Kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan Sediaan Farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien.Ini adalah amanat konstitusi, yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah maupun turunannya dalam hal ini Peraturan Menteri Kesehatan No 30/2015 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas.

Hal tersebut analog dengan kewajiban seorang tenaga kefarmasian untuk mencapai jumlah angka kredit tertentu, jumlah SKP tertentu dari organisasi profesi dalam hal ini PAFI (Persatuan Ahli Farmasi Indonesia). Adapun pemenuhan akan hal tersebut dilakukan dengan menjalankan apa yang menjadi tanggung jawab profesinya diantaranya :

  • Pelayanan kepada pasien, pelayanan resep,
  • Dispensing (peracikan obat), menjamin bahwa obat yang diserahkan kepada pasien sesuai dengan syarat mutu yang dipersyaratkan oleh Farmakope Indonesia maupun parameter farmasetika yang lain sehingga obat dapat menjadi “tool” yang mampu meningkatkan derajat hidup pasien
  • Visite rawat inap dan konsultasi obat (bagi apoteker),
  • Penjaminan mutu obat melalui sistem penyimpanan obat yang baik : pemantauan suhu, penjaminan cara penyimpanan sesuai dengan sifat-sifat yang dipersyaratkan dalam tiap-tiap obat, menjamin obat tidak rusak secara fisik maupun kimiawi sehingga aman ketika digunakan oleh pasien
  • Pendistribusian : melakukan distribusi ke sarana pelayanan kesehatan lain maupun sub unit pelayanan dan memastikan obat didistribusi sesuai dengan mekanisme good distribution practices
  • Memberikan edukasi kefarmasian kepada masyarakat melalui program pemberdayaan masyarakat CBIA, gema cermat dan lain-lain sejalan dengan program dari Kementerian Kesehatan maupun WHO.
  • Melakukan monitoring efek samping obat (MESO) dan melaporkannya kepada lembaga MESO Nasional
  • Melakukan monitoring peresepan : Penggunaan obat generic, penggunaan obat rasional, penggunaan injeksi, penggunaan antibiotic pada ISPA non Pneumoni dan diare non spesifik
  • Membuat rencana kebutuhan obat puskesmas yang dilaporkan menjadi kebutuhan obat nasional

Adapun tujuan dari pekerjaan kefarmasian adalah sebagai upaya perlindungan kepada pasien, memberikan kepastian mutu, kepastian hukum kepada pasien dan tenaga kesehatan atas terjadinya sebuah proses pelayanan kesehatan

Pekerjaan administrasi sebagai sebuah proses dalam pengelolaan obat merupakan hal yang penting, baik itu sebagai sebuah bentuk pertanggung jawaban atas pekerjaan atau pelayanan yang telah dilakukan maupun dalam rangka tertib administrasi dan pengamanan atas aset Negara. Sedangkan Badan Pemeriksa Keuangan merupakan pemverifikasi administrasi yang dalam hal ini mewakili negara memverifikasi kembali pekerjaan pekerjaan administrasi yang dilakukan oleh TTK yang ada di Puskesmas.

Misi pekerjaan administrasi inilah yang akhirnya dalam sudut pandang penulis telah menimbulkan “miss” dalam proses pekerjaan kefarmasian di puskesmas. TTK harus menyajikan data yang secara de facto integrated dengan sub unit pelayanan lain (pustu, yandu, unit-unit lain) dan semua pihak yang mengakses obat tanpa dukungan sistem yang mendukung proses (human maupun machine). Dan hebatnya lagi semuanya dilakukan secara manual. Inilah titik mula timbulnya kerancuan antara proses pekerjaan kefarmasian (secara kompetensi profesi) dengan pengadministrasi obat (secara administrative). Apa yang akan ditinggalkan, tentu pasien dan pekerjaan kefarmasian.

 Pekerjaan mengadministrasi obat berimplikasi pada stigma hasil penilaian BPK yang sangat adekuat dan prestisius bagi pemerintah daerah, sedangkan pekerjaan kefarmasian tidak memberikan implikasi langsung kepada siapapun kecuali kepada pasien. Inilah yang akhirnya pula menggeser paradigma TTK menjadi bukan TTK, bukan tenaga kefarmasian melainkan petugas pengelola obat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline