Pemerintah Indonesia menerapkan aturan membawa hasil tes PCR atau jika tidak, maka akan dikarantina sampai hasil tes PCR keluar negatif kepada pendatang dari luar negeri. Apakah kebijakan ini sudah tepat atau efektif? Yang jelas ini adalah pengalaman aku. Aku tiba di Jakarta tanggal 30 juni 2020 tanpa membawa hasil tes PCR.
Orang yang seperti aku akan mengantri lebih lama untuk rapid tes dan akhirnya memutuskan apakah memilih karantinanya di wisma atlet atau di hotel. Padahal aku sudah mempersiapkan diri untuk menginap di wisma atlet karena di hotel lumayan mahal atau yang paling murah adalah 700 ribu rupiah per malam . Namun karena sudah letih diperjalanan dan antri, aku berubah pikiran in the last minutes. Yang kebayang saat itu jika aku pilih di wisma atlet adalah masih menunggu bis penuh dan mungkin antri lagi dapat kamar.
Ketika membuat tulisan ini, aku berada di hotel pada malam kelima. Panik dengan biayanya, belum lagi rasa bosan yang semakin dalam dan menyiksa. Yang dari daerah seperti aku, tidak mungkin membeli tiket pesawat di hari yang sama ketika hasil tes diterima karena jumlah penerbangan sangat sedikit, yang mana penerbangan tersebut hanya di pagi hari saja.
Semakin kezel karena sebelumnya aku mengalami perlakuan tidak menyenangkan. Hari ketiga, sinyal internet hilang selama lebih kurang dua jam. Aku sudah menghubungi resepsionis namun belum ada perubahan. Aku putuskan untuk turun ke lobi saja dan sekalian ganti suasana sebentar.
Pas turun aku dapat sinyal dan mulai buka whatsapp. Namun hanya hitungan detik saja, seorang tentara menegur aku untuk kembali ke kamar, padahal aku pake masker, dan di lobi sepi sekali koq, artinya social distancing juga kan. Dengan ngomel sebentar aku kembali ke kamar. Selanjutnya petugas hotel dengan pakaian apd mengganti alat wifi di kamarku.
Hello.....aku pikir ini cukup berlebihan ya. Lock down sekalipun yang sudah pernah aku alami, tidak memperlakukan manusia sampai seperti ini. Kalau teman-teman nonton Raditya Dika bisa bayangkan aku ngomong begini : "Aku kotor mama".
Kejadian lain yaitu cerita teman, yang juga baru datang ke Indonesia tanggal 3 Juli 2020. Dia mengobrol dengan mahasiswa dari UK yang ditolak hasil tes PCR nya sehingga harus menjalani proses seperti kami yang tidak bawa hasil tes PCR. Tidak tahu pasti penyebabnya, yang jelas biaya tes yang dia keluarkan lebih murah dibanding info yang kami ketahui sebelumnya. Namun biaya tersebut tetap mahal sih sehingga yang terpikir olehku adalah nasib aku lebih baik dari mahasiswa tersebut.
Dan info mengejutkan lainnya adalah teman aku ditawari tes PCR mandiri yang berbayar 2,5 juta rupiah namun hasil tes akan keluar 1-2 hari. Koq yang kepikir ini seperti proyek yang menjadi mesin uang bagi pihak tertentu ya. Terus terang nih, kalau aku tahu jika akan mengalami hal seperti ini, dan ditawari membayar 2,5 juta itu, mungkin itu yang aku pilih.
Malam sebelumnya aku nonton youtube Anies Baswedan yang diwawancarai metro tv. Intinya jumlah penularan di Jakarta terjadi di pasar dan di kereta api. Ya balik lagi, aturan tentang social distancing tidak diterapkan dengan baik. Aku tidak tahu berapa negara yang menerapkan aturan tes bagi pendatang dari luar negeri sehingga aku berharap pemerintah mau mengevaluasi kebijakan ini. Mungkin tulisan ini tidak memberi manfaat lagi bagi aku pribadi, namun aku berharap adanya evaluasi dan perubahan membuat WNI yang terpaksa pulang ke Indonesia dapat diperlakukan lebih baik lagi dan mempertimbangkan juga ongkos yang dikeluarkan oleh WNI tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H