Lihat ke Halaman Asli

Penggelapan Pajak, Persepsi Korupsi dan Negara Tax Haven

Diperbarui: 4 April 2017   17:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Catatan penulis:

Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Berita Pajak pada tahun 2010. Penulis tergerak untuk menyajikannya kembali di Forum Kompasiana, karena hangatnya pemberitaan mengenai Panama Papers belakangan ini.  Tujuan utama dari tulisan ini ingin membentuk opini dari masyarakat bahwa Penggelapan Pajak termasuk didalamnya dengan mendirikan Special Purpose Vehicle (SPV) atau 'perusahaan kertas' (paper company) di negara Tax Haven juga dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. 

Banyak pihak beropini bahwa pendirian perusahaan bodong di Tax Haven tidak serta merta merupakan tindakan ilegal. Padahal tindakan penggelapan pajak (tax evasion) termasuk tindak pidana di bidang perpajakan. Disisi lain, berita tentang penegakan hukum di bidang korupsi oleh KPK seakan jadi berita yang seksi dan mudah untuk menarik emosi banyak pihak. Semua orang seakan sanggup berdiri di garda depan sebagai penumpas segala perilaku korupsi.  Tetapi ketika ada dua orang pegawai Ditjend Pajak (satu orang PNS dan honorer tenaga keamanan) yang tewas, karena berusaha menegakkan hukum di bidang perpajakan, beberapa orang bersikap sinis dan mencurigai adanya kesalahan prosedur. 

Mungkin masyarakat masih belum sadar sepenuhnya bahwa pajak yang dihimpun oleh DJP juga harus dilindungi dan didukung seperti halnya melindungi penggunaan APBN agar tidak dikorupsi. Sebab dengan semakin besarnya pemasukan negara dari sektor pajak, maka semakin banyak dana yang dapat digunakan untuk pembangunan dan mengurangi beban negara dalam bentuk hutang luar negeri.  Oleh karena itu, tidak salah rasanya jika seluruh bangsa Indonesia sepakat bahwa tindak penggelapan pajak merupakan salah satu bentuk korupsi uang rakyat.  Sebab sejak awal uang-uang itu adalah milik rakyat yang harus masuk ke dalam kas negara.

Pendahuluan

Almarhum Profesor Aliya Babs Fafunwa, mantan Menteri Pendidikan di Nigeria, pada saat menghadapi proses negosiasi yang berlarut-larut untuk menarik kembali seluruh aset negaranya yang dicuri oleh mantan Presiden Nigeria Sani Abaca pernah menyampaikan opininya pada tahun 2005: "It is rather ironical that the European based Transparency International does not think to list Switzerland as the first or second most corrupt nation in the world for harbouring, encouraging and enticing all robbers of public treasuries around the world to bring their loot for safe-keeping in their dirty vaults." Ironis memang jika melihat Corruption Perceptions Index (CPI) yang diterbitkan oleh Transparancy International (TI) menetapkan Swiss sebagai negara nomor 5 ‘paling bersih dari tindakan korupsi’ di dunia (pada tahun 2004), namun di sisi lain Nigeria dikategorikan sebagai salah satu negara paling korup di dunia.

Jika memperhatikan rangking negara-negara yang bebas korupsi menurut TI, maka kita akan melihat bahwa 40% dari negara-negara tersebut adalah negara-negara Tax Haven yaitu negara yang memiliki tarif pajak minim atau kadang tidak ada sama sekali (lihat tabel). Negara-negara Tax Haven juga terbukti secara aktif menjadi tempat penyimpanan dan juga mengalirnya illicit financial flow atau aliran uang haram dari negara lain terutama negara-negara berkembang.  

Aliran uang haram tersebut berasal dari uang penggelapan pajak, tindak kriminal seperti perdagangan narkoba dan juga korupsi yang tidak saja dilakukan oleh pejabat publik negara bersangkutan melainkan juga dilakukan oleh sektor swasta-baik individu maupun organisasi dalam dan luar negeri.  Negara-negara yang dikategorikan sebagai negara Tax Haven seperti Swiss, United Kingdom, Luksemburg, Hongkong, USA, Belgia, Irlandia dan Singapura sejak CPI diterbitkan oleh TI pada tahun 1995 selalu mendapat rangking tertinggi hingga kini.

Tabel: Rangking Negara Tax Haven Menurut CPI Tahun 2010

[caption caption="Tabel Ranking Negara Tax Haven | Sumber : Christensen, J & Hampton MP (2005) "Tax Us If You Can," TJN-IS"][/caption]Andy Rowell dalam bukunya yang mengupas konflik minyak di Nigeria mengatakan tentang perubahan persepsi dirinya terhadap Inggris (London) dan Amerika Serikat (Washington) khususnya terkait dengan korupsi di Nigeria dan juga negara-negara lain di Afrika. Dia mengatakan bahwa ‘pokok korupsi’ yang sesungguhnya bukanlah di Lagos (Nigeria) melainkan di London dan Washington. 

Menurutnya banyak mekanisme yang membuat Nigeria tetap menjadi negara miskin (dan korup) serta adanya jaringan dari bank-bank berbasis di negara-negara Tax Haven yang digunakan oleh perusahaan kontraktor minyak dari Inggris dan Amerika Serikat untuk ‘menghisap’ keuntungan yang seharusnya menjadi milik Nigeria.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline