Kunjungan saya ke Palembang terakhir membekaskan suatu kenangan perjuangan hidup anak manusia. Hari itu Minggu, 22 Mei 2016, di tepian sungai Musi.
Umek Elly, Ketua Komunitas Kompasianers Palembang membawa saya selain menikmati kuliner, juga mengunjungi benteng Kuto Besak yang ada di depan tepian sungai Musi.
Dalam kunjungan itulah saya bertemu Bapak Tukang Foto keliling ini. Ia menawarkan jasa memotret kami berdua di tepu sungai, dengan view jembatan Ampera. Beberapa pengunjung yang melintas dan ditawari, menolak.
Di era digital ini, sangat sedikit orang yang mau menggunakan jasa bapak ini. [caption caption="Bapak Tukang Foto Keliling"][/caption]
Ia menuturkan, bahwa sejak maraknya HP berkamera, penghasilannya sangat berkurang. Padahal, demi kelangsungan pekerjaan ini, beliau sudah menginvestasikan sekitar 2 juta rupiah untuk membeli mesin printer portable.
[caption caption="Investasi 2 Juta rupiah"]
[/caption]
Perjalanan saya ini, dan pertemuan saya dengan bapak tukang foto keliling (namanya saya lupa) memberi saya suatu makna baru dalam melihat sebuah upaya survive. Benar bahwa kamera HP sudah marak. Benar bahwa orang lebih suka selfie dan jarang menggunakan jasa Bapak Tua ini, namun ia tak berhenti menawarkan jasa.
Saat saya mengenang perjalanan di Palembang itu, saya mendapatkan suatu semangat dan gairah poaitif. Kalau si Bapak yang sudah tua itu saja, di bawah terik matahari masih bisa berjuang dan terus berupaya menawarkan jasa, bekerja dengan sungguh sungguh, bagaimana saya yang muda?
Ketika Umek Elly memutuskan menggunakan jasa bapak ini memotret kami, wajahnya terlihat sumringah.
Well, 15 rb itu murah jika diingat kami mungkin didoakan lancar rizkinya dan mendapatkan senyum si Bapak.
Sebuah kenangan tercetak di selembar kertas. Arti suatu perjuangan.