Hanya Aku, Kisahku
Maria Margaretha
17 November 2009, aku menjalani biopsi ginjal. Dokter menyarankan aku melakukan biopsi setelah melalui berbagai tes dengan hasil baik-baik saja sementara keadaan fisikku tidak mendukung. Aku sering merasa lelah, tanpa alasan. Belum lagi hasil tes urinku selalu positif mengandung protein dan darah. Beberapa kali terasa nyeri pada jari-jari tanganku dan kadang pada kakiku. Setelah melalui proses dokter internis menyarankanku ke urolog, dan urolog menyarankan aku ke nefrologist, aku melakukan beberapa tes yang mahal (buatku, terutama karena aku bekerja freelance, pada saat itu). Hasil tes2 mahal itu adalah keadaanku baik. Jalan terakhir, karena aku akan pergi ke Kalimantan waktu itu, di pedalaman, dokter menyuruhku biopsi. aku sangatttttt takuttttt. Jarum suntik sangat mengerikan buatku. Apalagi mendengar kata biopsi. Mengerikan.
Sahabatku, Ineke, Josephine, dan Vivi (dr. Olivia Hudaya) mendorongku melakukan biopsi itu. Mengingatkan aku bahwa lebih baik aku tahu apa yang tidak beres pada tubuhku karena jika aku pergi ke pedalaman Kalimantan, akses kesehatan tidak akan mudah bagiku.
Menuruti nasehat mereka sepertinya tidak mudah. Aku berdebat dan meminta mujizat. Hari itu aku melihat hasil tes urinku bersih dari protein dan darah. Aku sangat bahagia. Kukira, aku benar2 mendapat mujizat. Tetapi, Vivi menasehatiku untuk tetap melakukan biopsi, karena memang mungkin sekali terjadi seperti itu, namun kondisi sebenarnya tidak demikian. Aku benar2 tidak ingin biopsi. Aku berpikir, oke aku akan cek urin lagi. Kalau bersih maka aku tidak mau biopsi.
Yah, ternyata memang tidak bersih. Setelah ibadah minggu aku melakukan prosedur biopsi.
Aku nyaris tidak bisa tidur malam itu. Josephine menemaniku selama proses biopsi (di RSCM) menunggui aku dan memberiku semangat bahkan menghapus air mataku setelah selesai proses biopsi yang sangat menakutkan itu buatku. Ya, aku benar2 menangis setelah proses itu selesai, sampai2 dokternya bilang, "Benar-benar takut ya?"
Benarlah. Masa nangis kalau bukan karena takut? Kalau aku tidak sangat ingin ke Kalimantan, aku takkan melakukannya. Menunggu hasil biopsi juga merupakan saat yang tidak menyenangkan.
Sementara aku mempersiapkan keberangkatanku ke Kalimantan. Ketika hasil biopsi keluar, aku menanyakan pada semua dokter kenalanku, apa sih nefropaty IgA itu? Penjelasan yang kuterima tidaklah melegakan. Satu-satunya penjelasan yang membuatku tenang aku dengar adalah jangan kuatir, banyak pasien Nefropaty IgA yang tidak apa-apa selama puluhan tahun.
Tanpa sempat mendapat treatment apapun dari dokter subspesialis ginjal yang selama ini menanganiku, aku berangkat ke Kalimantan. Aku percaya ALLAH bisa menyembuhkan aku. Aku harus berhadapan dengan mimpi buruk,... setiap kali kelelahan, aku pingsan. Beberapa kali aku terganggu dengan sakit kepala dan sekali aku mengalami infeksi rongga panggul yang sempat dicurigai kista. Kacau. Akhirnya, aku pulang ke Jakarta.
Hal yang aku sadari, aku tetap harus memenuhi kebutuhan hidupku sendiri dan mengirimkan uang untuk orang yang kusayangi. Aku harus bekerja.
Maka sekali lagi, tanpa melakukan kontrol ke dokter aku pergi ke Batam. Kukira, aku akan menemukan spesialis ginjal dengan mudah di Batam. Ternyata, salah. Batam tidak punya dokter spesialis ginjal. Aku juga mengamati beberapa kali berobat pada internis di Batam membuatku kecewa. Mereka seolah tidak sungguh2 mendengarkan pasiennya. Salah satu internis itu malah memberiku dexanta, yang menurut literatur yang kubaca di internet dan pendapat dokter umum yang menanganiku di Kalimantan dapat mengganggu kinerja ginjalku. Gangguan tekanan darah tinggi hilang timbul, sekalipun aku sudah makan vegetarian di siang hari, untuk diet makanan. Walaupun paling tinggi masih di kisaran 150/90 atau 150/100.
Orang tuaku tidak menderita hipertensi. Dokter menjelaskan bahwa hipertensi ini sangat mungkin terjadi karena Nefropaty IgA itu. Dokter juga memberiku gambaran bahwa sangat mungkin jika fungsi ginjalku memburuk, aku akan memerlukan cuci darah. Dakter menyarankan aku untuk kontrol secara rutin dan tidak mengobati diriku sendiri sekalipun hanya flu biasa.
Ya ampun.
Aku hanya bisa melihat ke bawah, ada orang lain yang kondisinya lebih buruk dariku, aku tidak boleh mengasihani diriku. Aku harus kuat. Harus! Hidupku ada dalam tangan TUHAN. Aku tak perlu khawatir. Aku harus bersukacita, jika aku percaya ALLAH mengasihiku. Lagipula obat manakah yang lebih baik dari sukacita?
Hari-hari ini, terasa sangat sukar bagiku. Pagi hari, saat aku bangkit dari tempat tidur, aku merasakan rasa kejang nyeri tidak nyaman pada telapak tangan, jari jari dan kakiku, juga meriang yang mengganggu. Aku merasa kelelahan walau hanya berdiri di depan kelas 30 menit. Aku sangat ingin menangis. Rasanya keadaanku semakin buruk. Apakah ini hanya perasaanku?
Setiap aku menggerakkan tubuhku di kelas terasa sangat menyakitkan. Aku ingin duduk, tetapi dudukpun jadi menyiksa kalau terlalu lama.
Aku belajar mengenali rasa sakit yang kualami. Sangat menyiksa bagiku saat dokter menanyakan seperti apa sakitnya dan aku tidak dapat mengidentifikasi. Bagiku semua rasa sakit sama. Bahkan jika tidak amat sangat terasa, terkadang aku mengabaikan rasa sakit. Apakah pusing berdenyut atau pusing berputar, nggak jelas. Apakah nyeri atau pegal, aku tidak tahu. Bagaimana caranya membedakan?
Aku tahu, aku harus berusaha mengidentifikasi. Tapi sulittttttt mengidentifikasi jenis sakitnya itu.
Aku mendorong diriku bersukacita dan bersyukur. Aku percaya Tuhan tidak meninggalkan aku sendiri sekalipun, aku tidak dapat berbagi perasaanku pada orang orang yang kukasihi. Aku dapat mempercayai penyertaan Tuhan bahkan saat aku tidak dapat berbicara padaNya, karena sesaknya perasaanku. Aku tidak mau mengasihani diriku. Aku akan belajar, bekerja serta melayani TUHAN, bagaimanapun keadaan tubuhku.
Akhir-akhir ini tekanan darahku semakin tidak stabil... 2 minggu lalu mencapai 176/112.
Kemarin di RS Carolus 160, bawahnya berapa saya ngga nanya. Memang aku diizinkan pulang walaupun ada gejala hemoglobin turun. Tidak sampai 12. Sampai hari ini, kondisiku belum ada kemajuan. Aku sudah memaksa diriku berhenti bergerak kecuali ke toilet. Bedrest, dan menyanyikan syukur dalam ketidak-berdayaan.
Bersyukur adalah keputusanku, bahkan seandainya tidak ada alasan buatku untuk bersyukur. Alasanku bersyukur adalah ALLAH menyertaiku, di lembah bayang-bayang maut sekalipun. Thanks my LORD GOD, My love, My strength.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H