Lihat ke Halaman Asli

Maria Margaretha

TERVERIFIKASI

Guru SD. Blogger.

Kamu anak Buron ya? (Perbincangan dengan Anak Widji Tukul)

Diperbarui: 18 Juni 2015   08:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

140400786045769514

"Bapak kamu buron ya? Maaf, saya ngga boleh main sama kamu. Kata bapak saya, bapak kamu, penjahat". Potongan kalimat saya dengar sendiri dari putri Widji Tukul saat ditanya di antara masa masa penantian Jokowi di lobby ballroom hotel Lumire.

[caption id="attachment_313173" align="aligncenter" width="336" caption="Wawancara Kru Anteve yang sempat saya singgung di tulisan"][/caption]

Sebagai praktisi pendidikan, dapatlah memahami luka macam apa yang timbul di hati anak-anak Widji Tukul. Terlalu menyakitkan kehilangan ayah di usia 8 tahun tanpa pernah tahu di mana rimbanya. Plus cap anak buron dan penjahat.

Pada usia lebih dini, mbak Wani, ia menyebutkan namanya, adalah seorang anak yang senang menggambar. Widji Tukul ayahnya, digambarkannya sebagai ayah yang "Profesional". Ayah yang mengutamakan anak-nya di antara semua kesibukannya yang kadang memang jarang pulang. Sesibuk-sibuknya bahkan bersama mesin ketiknya kala membuat karya, Widji Tukul, ia selalu siap mengutamakan, dan mendengarkan anaknya. Sebagai anak, ia mengenangnya sebagai ayah yang tidak pernah jahat pada anak, ayah yang bisa menjawab pertanyaan anaknya.

Dalam balutan kaus melawan lupa, mbak Wani menjawab pertanyaan reporter dadakan kompasiana, yang merebut kesempatan setelah reporter ANteve. "Cak Munir sudah mati, masa sih ada lagi yang mau dihilangkan ke depannya, itu kan ya bodoh sekali," ungkapnya pada reporter ANteve, yang tertangkap video saya.

Sungguh membingungkan bagi anak usia 8 tahun mendapat pertanyaan dan pernyataan, "Kamu anak penjahat". Sebagai anak usia 8 tahun, mungkin mbak Wani tak tahu apakah ibunya harus berhutang seandainya bapaknya tidak mampu mencukupi kehidupan rumah tangga. Ia tak tahu apakah ayahnya mampu atau tidak membiayai keluarga. Masih terlalu kecil. Namun rasa kehilangan, itu bisa dirasakan.

Ia menjelaskan dari seni menggambar yang diminatinya dan sempat difasilitasi orang tuanya ia akhirnya menjadi penyair yang menulis puisi-puisi mengenai ketidak adilan. Bahwa luka kehilangan orang tua itu membekas sampai saat ini, ia menuturkannya. Ia menuturkan pernikahannya yang lebih menjadi upaya menyembuhkan diri dari rasa kehilangan ayah. Saat ini ia menjadi aktivis IKOHI (Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia) yang sesekali terlibat saat band adiknya diundang dan ikut membacakan puisi. Selain itu ia juga baru saja melahirkan anak pertamanya, yang saat ini berusia 3 bulan.

[caption id="attachment_313174" align="aligncenter" width="448" caption="Mbak, foto bareng ya, kata saya. Oke. kata mbak Wani."]

14040079332048326780

[/caption]

Ia menceritakan adiknya yang sempat menyayat-nyayat dirinya sendiri karena gangguan rasa kehilangan. Ia menceritakan ibunya yang karena tekanan akhirnya sempat dirawat di rumah sakit jiwa. Bahkan berkisah tentang dirinya sendiri yang putus kuliah dari Universitas Sanata Dharma, karena keluarga. Sedih,... menyayat hati, jika kita punya hati. Bukan semata politik. Apakah kita peduli?

Salam edukasi,

Maria Margaretha. (mau upload videonya ngga tahu caranya) Ditulis: 29 Juni, wawancara 26 Juni 2014.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline