"Kita berduka, atas tragedi genocyda di Wamena. Ada 32 orang tewas dan ribuan mengungsi. Sebagian besarnya warga pendatang. Pemerintah tetap harus selesaikn kabut asap, sikapi bijak Demo-demo, tapi tak boleh remehkan tragedi di Wamena. Kelanjutan NKRI taruhannya," kata Hidayat Nur Wahid lewat akun twitternya Minggu (29/9/2019).
Cuitan di atas dikeluarkan oleh Hidayat Nur Wahid, seorang wakil ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat yang tugasnya adalah menyukseskan sosialisasi 4 pilar bernegara termasuk nilai-nilai pancasila dan Bhinekka Tunggal Ika. Sebagai salah satu figur nasional yang terpandang, tidak bisa dimaklumi ketika tragedi Wamena ini langsung dikaitkan dengan dikotomi identitas. Mengaitkan kejadian di Wamena sebagai peristiwa genosida merupakan tindakan yang tidak sensitif dan tidak memberikan pemahaman yang baik terhadap publik.
Tragedi Wamena, Genosida atau bukan?
Yang harus dipahami adalah kejadian di Wamena jelas sekali merupakan ekses dari aksi unjuk rasa besar-besaran warga Papua dan Papua Barat menyikapi perlakuan rasis seorang oknum ormas di Surabaya beberapa waktu lalu. Pun dengan tragedi Wamena, dimana kerusuhan dipicu oleh isu adanya ujaran rasis dari seorang guru PGRI yang belakangan tidak terbukti.
Patut disayangkan dari tragedi ini adalah hampir semua korban berasal dari luar Papua alias perantau. Seperti yang tertera di twit, ada 32 orang harus meregang nyawa dengan cara yang amat keji. Beberapa pengungsi juga memilih keluar dari kota menuju daerah lain seperti Jayapura atau pulang ke kampung halaman.
Meski situasi di Wamena teramat buruk, memadankan kata genosida terhadap tindakan para perusuh yang menewaskan berpuluh orang tersebut sangat tidak tepat.
Kata genosida berakar dari bahasa Yunani Genos (suku) dan Bahasa Latin Cide (membunuh/menghabisi) dan dianggap sebagai kejahatan perang oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa Seusai perang dunia kedua.
Sebuah kejadian baru dapat dikatakan sebagai tindakan genosida jika memenuhi dua unsur fondasi perbuatan, unsur psikologis yaitu adanya niat yang jelas untuk menghancurkan dan melenyapkan suatu kelompok suku bangsa atau entitas dan unsur fisik yaitu adanya tindakan berupa pembunuhan secara massal, tindakan sistematis untuk menghasilkan luka fisik bagi suatu kelompok identitas, hingga penculikan dan pemindahan anak ke lingkungan identitas yang berbeda secara paksa.
Selain itu ada 4 indikator yang dapat menentukan suatu kejadian dapat dikategorikan sebagai genosida, masing-masing indikator mutlak dan indikator non-mutlak. Yang termasuk ke dalam indikator mutlak antara lain :
- Skala : korban tewas dan luka-luka akibat suatu penyerangan memiliki jumlah yang masif, sebagai perbandingan ada lebih dari 1 juta orang yang terbunuh dalam tragedi genosida di Rwanda.
- Peran negara : peran negara harus dapat dibuktikan dengan jelas atau setidak-tidaknya dapat dibuktikan keterlibatannya dalam spektrum ideologis
Sedangkan yang termasuk ke dalam indikator non mutlak meliputi motif dan faktor geografis. Apabila dirunut dari keempat indikator ini, peristiwa Wamena belum dapat dikategorikan sebagai genosida.
Apabila ditelusuri secara seksama, tidak dapat ditemukan upaya pengerahan sistematis dan masif yang ditujukan untuk niat membinasakan kelompok etnis pendatang di Papua. Mustahil para pengungsi masih mempertimbangkan untuk mengungsi ke Jayapura jika benar yang terjadi di Wamena adalah genosida.