Suatu siang saya kala sedang membuka sebuah media online, saya dibuat terkejut oleh sebuah headline berita tentang disertasi seks di luar nikah yang diujikan di sebuah Universitas Islam terkemuka di Indonesia.
Betapapun tidak religiusnya saya, headline beserta isinya tentu sangat membuat geger saya sebagai orang Indonesia dimana hal-hal yang berkaitan dengan seks selalu menjadi barang tabu di muka publik.
Setelah membaca dan memahami konteks daripada berita dan disertasi yang dimaksud, tidak ada hal yang teramat kontroversial karena sang penyusun disertasi hanya bermaksud menguliti pemikiran yang melandasi tafsir tersebut.
Yang menjadi masalah adalah karena tema tersebut telanjur ditelaah masyarakat sebagai hal yang kontroversial, maka berita tentang disertasi yang kabarnya lulus dengan memuaskan tersebut mengundang reaksi negatif publik.
Beberapa ahli agama termasuk Majelis Ulama Indonesia sudah menyatakan menolak total kesimpulan dari disertasi tersebut sementara di akar rumput kabarnya hingga mengecam sampai ke ranah privat yang bersangkutan. Kesimpulannya, nilai agama telanjur dilihat sebagai kacamata absolut oleh sebagian besar masyarakat tanpa membuka ruang berpikir kritis.
Berangkat dari momentum kehebohan disertasi ini, patut dikritisi pula rencana untuk mengkriminalisasi seks konsensual yang dilakukan di luar nikah dalam RKUHP terbaru.
Sebagai orang Indonesia, saya paham bahwa keenam agama yang diakui oleh negara sangat keras menolak tindakan ini. Hanya saja menjadi sangat tidak tepat memasukkan tindakan seks di luar nikah (tanpa unsur paksaan) sebagai tindak kejahatan.
Menurut definisi kejahatan oleh R.Soesilo, kejahatan adalah tindak laku yang merugikan baik penderita maupun masyarakat umum berupa hilangnya hak mendapat rasa aman.
Menilik KUHP yang sekarang, sebetulnya pengakomodasian zinah sebagai tindak kejahatan masih dalam tahap wajar dengan mempertimbangkan adanya hak suatu pihak yang terampas dari akibat perbuatan tersebut.
Saya masih amat maklum apabila zinah sebagai kejahatan dalam pernikahan ataupun kejahatan terhadap anak di bawah umur mendapat sanksi kurungan. Namun dengan mempertimbangkan adanya miskonsepsi antara menghilangkan hak publik dengan hubungan seks berdasarkan kesepakatan (termasuk dengan penjaja jasa seks), perluasan pasal zinah ini kehilangan konstruksi logika hukumnya.
Pertama, tujuan hukum dibentuk untuk menciptakan keteraturan di masyarakat sehingga hakekatnya hukum harus bersifat objektif. Dengan memperluas pasal zina untuk hubungan konsensual, hukum pidana seolah dikonstruksi untuk mengakomodasi tuntutan subjektif seperti standar moral yang belum tentu disepakati oleh semua orang.