Lihat ke Halaman Asli

Hendrie Santio

Seorang Serabutan

Pengangguran yang Menghantui Anak Muda Korea Selatan

Diperbarui: 18 Mei 2018   16:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

www.bloomberg.com

Demonstrasi massa buruh di Tanah Air pada hari mayday 1 Mei kemarin banyak mengangkat tema terkait perlindungan nasib buruh baik tema abadi seperti penolakan upah murah hingga isu terbaru yaitu pemberlakuan peraturan presiden mengenai tenaga kerja asing yang dinilai sebagian buruh sebagai langkah mundur. Upaya Presiden Joko Widodo untuk mengendurkan regulasi demi memancing investasi masuk dan membuka lapangan pekerjaan dianggap sebagai biang keladi keresahan para tenaga kerja lokal yang khawatir lahan pekerjaannya akan tergerus dengan dipermudahnya regulasi penggunaan tenaga kerja asing untuk level supervisor dan manajerial. 

Kekhawatiran akan menyempitnya lahan pekerjaan rupanya  tidak hanya menghantui Indonesia  sebagai negara dengan pendapatan menengah (Mid-Income Country) namun juga Korea Selatan Sebagai negara maju. Korea Selatan berhasil mengalami kemajuan ekonomi atau yang terkenal dengan istilah miracle of Han River berkat program industralisasi masif, dukungan total pemerintah otoritarian pada konglomerasi keluarga atau chaebol, dan sistem pendidikan yang kaku dan submisif. Tiga hal ini tidak hanya mengubah standar hidup namun juga budaya dan status banyak orang Korea. Salah satu imbas positif dari revolusi sistem pendidikan yang submisif ini tercermin dari tingkat indeks pembangunan manusia yang mencapai 0,901 atau berada pada ranking 18 dunia negara-negara perserikatan bangsa bangsa.

Sistem pendidikan Korea Selatan yang berbasis kepada ujian akhir penentu universitas tujuan atau yang dikenal dengan nama suneung ini dianggap sebagai patron penentu cerah tidaknya masa depan anak-anak muda di sana.  Tidak hanya berhenti di suneung, sistem pendidikan di Korea Selatan juga mengenal stratifikasi dari bangku universitas yang berhasil diraih di ujian suneung, dimana anak-anak yang berhasil meraih kursi di salah satu dari tiga universitas terbaik di Korea Selatan yaitu Yonsei, Seoul National University(SNU) dan Korea University hampir dipastikan mendapat karir cemerlang berupa kesempatan untuk bekerja di perusahaan-perusahaan konglomerasi chaebol macam Samsung, LG, dan Hyundai. 

Pengagungan luar biasa para orang tua Korea Selatan terhadap status dan materi anaknya membuat mereka menggantungkan harapan kepada keberhasilan anak mereka mencapai salah satu dari tiga universitas terbaik tersebut. Fenomena ini cukup berpengaruh terhadap besarnya partisipasi universitas di negara tersebut yang mencapai angka 80% dan tingkat pemegang gelar sarjana sebesar 69% dari total seluruh rakyat Korea menurut Quartz.com. Akan tetapi kenyataan di pasar kerja menjadi kabar buruk bagi para pemegang gelar sarjana Korea Selatan terancam mengalami labor oversupply sebagai dampak dari pertumbuhan ekonomi yang tidak berbanding lurus dengan pertumbuhan lapangan pekerjaan. Data Tenaga Kerja Korea Selatan menyebutkan sekitar 12,5 % lulusan sarjana pada tahun 2016 dikategorikan sebagai penggangguran. Angka ini bahkan termasuk mereka yang lulus dari tiga universitas terbaik. 

Riset situs pencarian kerja mengatakan   bahwa sekitar 200.000 sarjana harus  berkompetisi hanya untuk 14.000 lowongan tersedia yang terkonsentrasi di perusahaan-perusahaan Chaebol. Hal ini didorong semacam konsensus tak resmi bagi para sarjana bahwa mereka hanya memiliki masa depan di perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh para Chaebol. Kondisi ini  mengakibatkan banyak pencari kerja untuk menghabiskan waktu 15 jam  sehari untuk belajar tes seleksi masuk. Tujuannya tidak lain agar dapat melewati tes  seleksi super ketat yang diadakan para perusahaan perusahaan konglomerasi tersebut.

Perusahaan-perusahaan konglomerasi keluarga macam Samsung, Hyundai, dan LG tercatat bertanggung jawab atas sekitar 58 persen produk domestik bruto Korea Selatan setiap tahunnya. TImpangnya output produk domestik bruto ini tergambar dari praktik bisnis para konglomerasi ini yang banyak melahap bisnis-bisnis kecil dan menengah sebagai penyuplai utama di rantai pasok  serta sejarah hubungan kolusif dengan pemerintahan, hal ini menyebabkan rendahnya kondisi kerja serta stagnasi upah di perusahaan-perusahaan kecil yang merupakan kompetitor langsung dari para Chaebol Sebagai catatan rata-rata gaji di Samsung dapat mencapai angka $170.000 setahun. 

Gagalnya pemerintah untuk mereduksi gurita bisnis para chaebol yang mematikan usaha kecil dan menengah dianggap sebagai faktor utama mengapa pertumbuhan ekonomi gagal menciptakan lapangan pekerjaan yang menjadi salah satu isu penggulingan Park Geun Hye pada Oktober lalu. Presiden Korea Selatan yang baru terpilih november 2017 lalu Moon Jae In berjanji akan membuka 813.000 lapangan pekerjaan baru di sektor pemerintahan dengan harapan dapat mengurangi tingkat pengangguran nasional bagi kelompok milenial, hanya saja menurut Profesor Ki Gwang Suk seorang ekonom dari universitas Hanyang berpendapat bahwa keberhasilan Moon Jae In menekan penggangguran sangat tergantung dari bagaimana ia dapat mengolah hubungan dengan para Chaebol tersebut. ia beranggapan bahwas sektor swasta selalu menjadi pemain utama dalam penciptaan lapangan pekerjaan. Hal ini menjadi sulit lantaran catatan kelam banyaknya pemimpin konglomerasi ini yang selalu berhasi menghindari hukum seperti petinggi Samsung Lee Jae Young yang pernah mendapat grasi atas kasus penyuapan pada tahun 1996 serta penggelapan pajak pada tahun 2008. 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline