Lihat ke Halaman Asli

Cerpen | Pada Sore Ini

Diperbarui: 17 Mei 2016   16:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di sini, di tanah ini, tujuhpuluh tahun lalu. Betapa manusia itu pelupa sekaligus pengingat. Sementara aku sudah sering melupakan jalan pulang ke rumahku, dan hanya bisa berharap pada waktu itu ada tetangga yang simpati kepada lelaki tua yang menjelang pikun. Sementara merekapun lupa akan siapa aku. Mungkin mereka sempat ingat, lalu menjadi hilang digerus jaman yang ganti menggerus pikiran mereka.

Sementara aku takkan pernah bisa melupakan kejadian disini, di tanah ini, tujuhpuluh tahun lalu. Hari Rabu pukul tujuh pagi, di bagian lereng bukit itu, aku masih bisa membayangkan dengan jelas di balik beton-beton yang kini ada disini. Bau mesiu yang menyelimuti udara, asap dari meriam yang membumbung, pekik merdeka dan jerit terluka. Kau yang hilang satu kaki karena ranjau. Lalu hilang satu nyawa.

Kau bilang aku sudah punya wanita, maka lebih baik kau yang maju lebih dulu. Padahal kau cuma pernah kuperlihatkan surat balasan surat cintaku padanya. Yang memang di kemudian hari menjadi wanitaku, yang kemudian pergi lebih dulu meninggalkanku. Kesan yang ditinggalkannya dalam memang, tapi tak sedalam yang ditinggalkanmu. Karena tanpamu, aku yang akan kehilangan kaki karena ranjau. Lalu hilang satu nyawa.

Terkadang aku tak bisa memahami yang bisa dilakukan oleh manusia. Entah penggerak macam apa yang bisa menggerakkan para pemuda itu untuk bergerombol merenggut kesucian dan harga diri seorang gadis. Tidakkah mereka teringat akan ibu mereka? Tidakkah pemerkosa sekaligus pembunuh yang secara keji menghancurkan kelamin gadis itu berpikir, dari situlah ia keluar untuk melihat dunia untuk pertamakalinya?

Lalu engkau, sahabat sesaatku. Begitu mengagungkan cinta, yang bahkan bukan milikmu. Tapi kau begitu rela berkorban untuknya. Untukku dan wanitaku. Padahal kita hanya dipersatukan oleh takdir melawan penjajah. Entah penggerak macam apa yang membuatmu masih mau menahan peluru untukku, bahkan setelah ranjau itu merenggut satu kakimu. Kurasa aku memang takkan bisa memahami manusia.

"Cepat, pergi ke arah barat dan sergap mereka dari belakang! Aku akan mengalihkan perhatian mereka!"

Lalu kau berteriak lagi sebelum aku menghilang ke arah rimbun pepohonan.

"Jaga baik wanitamu, kawan!"

Kalimat yang takkan kulupa, senyum yang takkan kulupa. Garis lengkung pada wajah pribadi yang bersahaja. Sedangkan garis-garis pada wajahku saja sudah kulupa semua. Lalu sejurus kemudian aku terpikirkan akan mengapa. Mungkinkah engkau juga punyai wanitamu sendiri? Kalau iya, ingin ku bertemu, tapi tak tahu harus berkata apa. Bilamana wanita itu sumber penggerakmu, apa mungkin kuberitahu dia bahwa kau mati demi aku?

Matahari sore mengirimkan cahaya ke mataku seiring tenggelamnya di ufuk barat. Tersadar olehku waktunya pulang. Tongkatku kugerakkan menopang tubuhku, menopang jalanku yang tertatih menunggu usainya cerita. Kuharap kali ini aku mengingat jalan pulang yang benar. Atau berharap kepada mereka, generasi penerusku untuk menunjukkan jalan. Jika mereka ingat.

Batavia, 17 Mei 2016

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline