[caption caption="Sumber: foto.tempo.co"][/caption]Terimakasih suratmu, Bapak baik, Nak, masih mengupas kulit menjadi orang baru. Tak mudah, bila Bapak diijinkan mengeluh, karena disini bukan tempat yang menginginkan orang lahir baru. Hanya dunia mini, yang lebih menghancurkan diri. Tapi kita tak bisa memilih penebusan kita, bukan? Kemiskinan meniadakan itu. Pilihan.
Apa kabarmu, Nak, bagaimana Ibu? Bapak tak pernah sempat mintakan maaf, telah beratkan Ibumu. Hanya bisa memohon pengertianmu, hanya bisa mohonkan kau tambah kedewasaanmu, dan ringankan beban beliau. O andai saja, tapi waktu tak bisa Bapak putar lagi, jelas Bapak pilih korupsi. Walau tergadai harga diri, tapi daripada maling ayam berlari.
Kemiskinan meniadakan itu.
Bapak bukan sedang ingin membuatmu terharu, Nak, Bapak cuma ingin kau tahu, tetesan airmata di lembar kertas ini, mungkin akan mengering di tanganmu, tapi Bapak harap ia dapat menyampaikan betapa hancur Bapak karena menelantarkanmu. Harusnya Bapak di sebelahmu, mengajarimu belah kayu, atau mengejar asa memburu.
Kemiskinan hati Bapak yang membuatnya begitu. Bapak mestinya yang mengajarimu, dunia boleh mengguncangmu begitu rupanya, sampai kau memuntahkan harga diri. Tapi sudah tugas jati dirilah untuk menemukannya kembali. Jatuh, dan bangun lagi. Bangun, dan jatuh lagi, jati diri tetap kembali. Cukup terhinakah Bapak untuk tak mengajarkan ini?
Disini dunia mini, Nak, kau harus punya jati diri, agar tak hilang ketika mereka mengguncang akar-akar kemanusiaanmu. Pilihan-pilihan nuranimu. Bapak harap kau siap bila karena tiada teladan Bapak, akan menarikmu kesini, langkah menderap. Mungkin bila kita bertemu, Bapak bisa menyungkur menyujud dan kau mencaci, biar hilang pedih perih.
Bapak harap kemiskinan tak mengadakan itu.
Jakarta, April 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H