Lihat ke Halaman Asli

Cerpen: Hari Penyair

Diperbarui: 2 April 2016   15:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber: nyunyu.com"][/caption]Cak Din terbangun baru saja, dilihatnya penunjuk waktu, pukul tujuh. Dia terlambat bangun kalau begitu. Tak membuang waktu, dia langsung beranjak untuk kemudian melompat-lompat kecil di samping dipan, sambil menggumam kepada diri sendiri. Ayo, ayo, ayo, dia memikirkan dalam hati. Di mulutnya yang keluar adalah gumaman, lekas, lekas, lekas. Dia lalu merasa sedikit aneh, tapi tidak terlalu memikirkan lebih jauh lagi, dia langsung beranjak ke kamar mandi setelah mengambil handuknya terlebih dulu.

Sambil mandi Cak Din melakukan ritualnya seperti biasa. Mengirim pikirannya untuk mencari arti hidup. Kalau di waktu pagi ya sambil menikmati guyuran air yang dingin, dia lebih suka begitu. Namun, pikirannya belum terbangun seluruhnya, mengingat dia baru saja saja bangun beberapa saat yang lalu. Walaupun badannya sudah bangun sepenuhnya demi merasakan sensasi dingin di pagi hari. Alhasil, tak banyak yang dipikirkannya kali ini. Hidup ya hidup, begitu sajalah.

Istrinya yang sudah menyiapkan sarapan sedari tadi, masuk ke kamar seiring dengan Cak Din yang keluar dari kamar mandi yang ada di dalam kamar tidur mereka. Dia tak ingin mengganggu tidur Cak Din sebagaimana begitulah dirinya, namun bila Cak Din tidur lebih lama lagi, mau tidak mau dia harus membangunkannya, kalau tidak malah dimarahi Cak Din seperti tempo hari. "Sudah mandi toh, ayo buru, sarapan sudah siap," ujarnya kemudian, lalu beranjak keluar lagi. "Baik," jawab Cak Din singkat. Istrinya jadi terhenti sesaat demi mendengarkan ucapan Cak Din. Dia merasa sedikit aneh, tapi lalu mengangkat bahu dan meneruskan berlalu.

Cak Din kemudian berpakaian, menyisir rambut, dan mematut diri di hadapan cermin. Kurang keren, pikirnya. Mau bagaimana lagi, sudah mentok, lanjut pikirannya lagi. Dia lalu keluar kamar dan beranjak ke meja makan. Dia mengincar kopi yang harumnya sudah dia endus sedari tadi. Istrinya yang sudah ada di meja makan tengah menyiapkan santapannya hari ini. Televisi yang ada di ruang tamu yang bersebelahan dengan meja makan itu, sedang menayangkan berita pagi. Koruptor tertangkap tangan.

"Syukurin," cibir istrinya sambil menyendok nasi untuk Cak Din kemudian meletakkan piring itu di hadapan suaminya. Cak Din yang hanya berfokus hendak menyeruput kopi, jadi terhenti, dan lalu memandangi istrinya, yang tak lama kemudian menyadari pandangan suaminya itu. Dia lalu teringat suaminya yang baru bangun, mungkin belum ngumpul pikirannya. "Itu loh," ujarnya sambil mengarahkan dagunya ke arah televisi. Mata Cak Din mengikuti dagu mancung istrinya itu, dan lalu terpaku sejenak ke televisi. Ooo, pikirnya.

"kalau tiba waktu mereka

perampas napas-napas yang sudah terlunta

aku minta padamu, teman hidupku

panjatkanlah selaksa doa

yang kau mohon dengan sungguh-sungguh

biarkan belulang busuk mereka tak diterima tanah

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline